Pengantar Ilmu Tasawuf

pengantar ilmu tasawufTasawuf adalah salah satu dari filsafat Islam, yang tujuanya menjadikan manusia berprilaku zuhud dari dunia yang fana ini. Tetapi, lantaran banyak bercampur dengan negri dan kebudayaan bangsa lain, sedikit banyak mempengaruhi kajian dan ritual para sufi. Tasawuf bukanlah agama, melainkan suatu ikhtiar yang setengahnya diperbolehkan dalam ajaran Islam dan sebagian lain tidak sadar, telah tergelincir dan menjauh dari agama. Atau terasa enaknya pengajaran agama lain yang tak terasa telah menyimpang jauh dari Islam.

Ibnu Khaldun berkata : “tasawuf itu adalah semacam ilmu syari’ah yang timbul

Asal kata dan Definisi Ilmu Tasawuf

asal kata dan definisi ilmu tasawufArti tasawuf dan asal katanya menjadi perdebatan para ahli-ahli bahasa. Sebagian berkata bahwa perkataan itu diambil dari kata shafa’, artinya suci bersih ibarat kilat kaca. Sebagian lagi mengatakan  berasal dari kata shuf, artinya bulu binatang. Sebab orang-orang yang memasuki tasawuf itu memakai baju dari bulu binatang, karena tidak menyukai pakaian yang indah-indah. Mereka beranggapan pakaian yang indah itu adalah pakaian orang-orang dunia. Ada juga yang mengatakan diambil dari kaum

TIPOLOGI FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

[caption id="attachment_735" align="alignleft" width="235" caption="Gontor, basis filsafat pendidikan"]Gontor memiliki filsafat pendidikan tersendiri[/caption]

Berdasarkan Tipologi Filsafat Pendidikan dan Tipologi Pemikiran Islam sebagainana diuraikan diatas, pada pokok bahasan ini kita akan memformulasikan Tipologi Filsafat Pendidikan Islam. Formulasi tersebut sesungguhnya hanya mendasarkan pada studi komparasi antara Tipologi Filsafat Pendidikan dan Tipologi Pemikiran Islam sesuai dengan sifat dan kharakteristiknya yang hampir serupa dengan menyandarkan pada pendapat para ahli. Dalam perspektif ini Prof. Dr. Muhaimin mengklasifikasikan tipologi filsafat pendidikan Islam menjadi lima bagian ,yaitu:[1]

1. Perenial-Esensialis Salafi

Konstruksi tipologi tekstual salafi dilihat dari wataknya

TIPOLOGI PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM

[caption id="attachment_732" align="alignright" width="235" caption="Pesantren, dari pemikiran Islam"]TIPOLOGI PEMIKIRAN PENDIDIKAN iSLAM[/caption]

Dalam kajian pemikiran (filsafat) pendidikan Islam, beberapa ahli pendidikan Islam menggarisbawahi adnaya tiga alur pemikiran dalam menjawab persoalan pendidikan, yaitu:

pertama, kelompok yang berusaha membangun konsep (filosofis) pendidikan Islam, disamping melalui al-Qur’an dan al-Hadits sebagai sumber utama, juga mempertimbangkan kata sahabat, kemaslahatan sosial, nilai-nilai dan kebiasaan sosial, serta pandangan-pandangan pemikir Islam.

Kedua, kelompok yang berusaha mengangkat konsep pendidikan

TIPOLOGI FILSAFAT PENDIDIKAN populer

Wilayah kajian pendidikan dapat dilihat dari berbagai dimensi. Buchori (1994) melihatnya dari dua dimensi, yaitu: dimensi lingkungan pendidikan, dan dimensi jenis permasalahan pendidikan.

Dilihat dari dimensi lingkungan pendidikan, maka wilayah kajianya meliputi: pendidikan dalam lingkungan keluarga, pendidikan di sekolah, dan pendidikan di luar sekolah. Dilihat dari dimensi jenis permasalahan pendidikan, maka wilayah kajianya meliputi: masalah landasan pendidikan (foundation problems of education); masalah struktur lembaga pendidikan (structural problem of education); dan masalah ope

Definisi Pendidikan Islam

Pengertian tentang pendidikan, bila dikaitkan dengan Islam, maka menjadi “Pendidikan Islam”. Nama baru ini tentunya memiliki pengertian tersendiri dari pengertian-pengertian di atas, walau dalam kenyataanya masih dapat ditarik benang merah diantara beberapa pengertian tersebut. Beberpa pengertian tentang pendidikan Islam adalah sebagai berikut:


M. Yusuf Al-Qardhawi memberikan pengertian bahwa: “pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya; akal dan hatinya; rohani dan jasmaninya; akhlak dan ketrampilanya. Karena itu, pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup, baik dalam keadaan damai maupun perang dan menyiapkanya untuk masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatanya, manis dan pahitnya”.[1]

Hasan Langgulung merumuskan pendidikan islam sebagai suatu “proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya di akhirat”.[2]

Menurut Syah Muhammad A. Naquib Al-Attas, pendidikan Islam ialah usaha yang dilakukan pendidik terhadap anak didik untuk pengenalan dan pengakuan tempat-tempat yang benar dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan. Sehingga, membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan akan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan kepribadian.[3]

Sedangkan menurut M. Arifin, pendidikan Islam adalah system pendidikan yang dapat memberikan kemampuan seseorang untuk memimpin kehidupanya sesuai dengan cita-cita Islam, karena nilai-nilai Islam telah menjiwai dan mewarnai corak kepribadianya.[4]

Dari pengertian-pengertian diatas, dapatlah kita mengambil benang merah pengertian pendidikan Islam. Pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya yang dilakukan oleh seorang dewasa kepada anak didik untuk mempersiapkan kehidupan yang lebih baik. Dalam prakteknya, pendidikan Islam bukan hanya pemindahan pengetahuan kepada anak didik, namun perlu diintegrasikan antara tarbiyah, ta’lim dan ta’dib, sehingga dapatlah seseorang yang telah mendapatkan pendidikan Islam memiliki kepribadian muslim yang mengimplementasikan syari’at Islam dalam kehidupan sehari-hari, serta hidup bahagia di dunia dan akhirat.


[1] Yusuf Al-Qardhawi, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan Al-Banna, terj. Prof. H. Bustami A. Gani dan Drs.Zainal Abidin Ahmad (Jakarta: Bulan Bintang, 1980) h.157

[2] Hasan Langgulung, Beberapa pemikiran tentang pendidikan Islam (Bandung: Al-Ma’arif, 1980) h.94

[3] Drs. H. Hamdani Ihsan dan Drs. H. A. Fuad Hasan, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 1998) h.16

[4] Op.Cit, M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, h.10

Definisi Pendidikan secara umum

Arti pendidikan sangat beragam. Definisi atau pengertian pendidikan antara seorang ahli dan yang lainya tidaklah sama. Apalagi ahli-ahli pada zaman dahulu dan zaman sekarang. Berikut beberapa definisi pendidikan menurut para ahli:


Menurut Prof. Dr. John Dewey, pendidikan adalah suatu proses pengalaman. Karena kehidupan adalah pertumbuhan, pendidikan berarti membantu pertumbuhan batin tanpa dibatasi oleh usia. Proses pertumbuhan ialah proses menyesuaikan pada tiap-tiap fase serta menambahkan kecakapan di dalam perkembangan seseorang.[1]

Menurut Prof. Herman H. Horn, pendidikan adalah proses abadi dari penyesuaian lebih tinggi bagi makhluk yang telah berkembang secara fisk dan mental yang bebas dan sadar kepada Tuhan seperti termanifestasikan dalam alam sekitar, intelektual, emosional dan kemauan dari manusia.[2]

Menurut M.J. Langeveld, pendidikan adalah setiap pergaulan yang terjadi adalah setiap pergaulan yang terjadi antara orang dewasa dengan anak-anak merupakan lapangan atau suatu keadaan dimana pekerjaan mendidik itu berlangsung.[3]

Menurut Prof. H. Mahmud Yunus, pendidikan adalah usaha-usaha yang sengaja dipilih untuk mempengaruhi dan membantu anak dengan tujuan peningkatan keilmuan, jasmani dan akhlak sehingga secara bertahap dapat mengantarkan si anak kepada tujuannya yang paling tinggi. Agar si anak hidup bahagia, serta seluruh apa yang dilakukanya menjadi bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat.[4]

Mnurut hemat kami, pengertian yang diberikan oleh Prof. H. Mahmud Yunus lebih mengena dan menyeluruh dibanding pengertian-pengertian pendidikan menurut para pakar lainya.


Sejarah lahirnya PGRI dan Hari Guru

PGRI lahir pada 25 November 1945, setelah 100 hari proklamasi kemerdekaan Indonesia. Cikal bakal organisasi PGRI adalah diawali dengan nama Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) tahun 1912, kemudian berubah nama menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI) tahun 1932. Semangat kebangsaan Indonesia telah lama tumbuh di kalangan guru-guru bangsa Indonesia. Organisasi perjuangan huru-guru pribumi pada zaman Belanda berdiri tahun 1912 dengan nama Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB).

Organisasi ini bersifat unitaristik yang anggotanya terdiri dari para Guru Bantu, Guru Desa, Kepala Sekolah, dan Penilik Sekolah. Dengan latar belakang pendidikan yang berbeda-beda mereka umumnya bertugas di Sekolah Desa dan Sekolah Rakyat Angka Dua.Sejalan dengan keadaan itu maka disamping PGHB berkembang pula organisasi guru bercorak keagamaan, kebangsaan, dan yang lainnya.
Kesadaran kebangsaan dan semangat perjuangan yang sejak lama tumbuh mendorong para guru pribumi memperjuangkan persamaan hak dan posisi dengan pihak Belanda. Hasilnya antara lain adalah Kepala HIS yang dulu selalu dijabat orang Belanda, satu per satu pindah ke tangan orang Indonesia. Semangat perjuangan ini makin berkobar dan memuncak pada kesadaran dan cita-cita kesadaran. Perjuangan guru tidak lagi perjuangan perbaikan nasib, tidak lagi perjuangan kesamaan hak dan posisi dengan Belanda, tetapi telah memuncak menjadi perjuangan nasional dengan teriak “merdeka.”

Pada tahun 1932 nama Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) diubah menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI). Perubahan ini mengejutkan pemerintah Belanda, karena kata “Indonesia” yang mencerminkan semangat kebangsaan sangat tidak disenangi oleh Belanda. Sebaliknya, kata “Indonesia” ini sangat didambakan oleh guru dan bangsa Indonesia. Pada zaman pendudukan Jepang segala organisasi dilarang, sekolah ditutup, Persatuan Guru Indonesia (PGI) tidak dapat lagi melakukan aktivitas.

Semangat proklamasi 17 Agustus 1945 menjiwai penyelenggaraan Kongres Guru Indonesia pada tanggal 24 – 25 November 1945 di Surakarta. Melalaui kongres ini, segala organisasi dan kelompok guru yang didasarkan atas perbedaan tamatan, lingkungan pekerjaan, lingkungan daerah, politik, agama, dan suku, sepakat dihapuskan.  Mereka adalah – guru-guru yang aktif mengajar, pensiunan yang aktif berjuang, dan pegawai pendidikan  Republik Indonesia yang baru dibentuk. Mereka bersatu untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Di dalam kongres inilah, pada tanggal 25 November 1945 – seratus hari setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia – Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) didirikan.

Dengan semangat pekik “merdeka” yang bertalu-talu, di tangan bau mesiu pemboman oleh tentara Inggris atas studio RRI Surakarta, mereka serentak bersatu untuk mengisi kemerdekaan dengan tiga tujuan :

1.      Memepertahankan dan menyempurnakan Republik Indonesia;

2.      Mempertinggi tingkat pendidikan dan pengajaran sesuai dengan dasar-dasar kerakyatan

3.      Membela hak dan nasib buruh umumnya, guru pada khususnya.

Sejak Kongres Guru Indonesia itulah, semua guru Indonesia menyatakan dirinya bersatu di dalam wadah  Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).

Jiwa pengabdian, tekad perjuangan dan semangat persatuan dan kesatuan PGRI yang dimiliki secara historis terus dipupuk dalam mempertahankan dan mengisi kemerdekaan negara kesatuan republik Indonesia. Dalam rona dan dinamika politik yang sangat dinamis, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) tetap setia dalam pengabdiannya sebagai organisasi perjuangan, organisasi profesi, dan organisasi ketenagakerjaan, yang bersifat unitaristik, independen, dan tidak berpolitik praktis.
Untuk itulah, sebagai penghormatan kepada guru, pemerintah Republik Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994, menetapkan hari lahir PGRI tanggal 25 November sebagai Hari Guru Nasional, dan diperingati setiap tahun.

*Diambil dari berbagai sumber

Ibadah Qurban masa Nabi Muhammad

Pada Zaman Nabi Muhammad SAW. Masalah kurban diceritakan kembali yaitu di dalam surat Al-Kautsar ayat 1-3:
"Se-sungguhnya Kami telah memberikan kepadanya nikmat yang banyak, Maka dirikanlah sholat karena Tuhanmu, dan Berqurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus".

Berbicara tentang kenikmatan, Allah mengingatkan: "Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tiadalah dapat kamu mengitungnya" (QS:Ibrahim: 34). Oleh karena itu berkaitan dengan ibadah kurban yang sudah ada sejak Nabi Adam, Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad Saw. Allah berfirman:

"Dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berqurbanlah", Sholat merupakan hubungan vertikal dengan Allah untuk mensyukuri nikmat Allah. Hubungan antara sesama manusia secara horisontal diwujudkan bahwa setelah shalat Idul Adha yaitu dengan berkurban memotong hewan ternak berupa kambing atau sapi untuk dibagikan kepada fakir miskin.

Kita biasanya serius ketika beribadah langsung dengan Allah tapi kadang-kadang ibadah sesama manusia seringkali kurang serius. Allah SWT mengingatkan dalam surat Al-MaaHuun ayat 1-7 : "Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim.Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya dan enggan (menolong dengan ) barang berguna".
Qurban ini merupakan masalah ubudiyah yang bersifat sosial yang berhubungan dengan sesama manusia dengan cara mengorbankan sebagian harta.

Maka qurban secara lughatan bahasa dengan berdasarkan pada surat Al-Maidah ayat 27 "Qurban" berarti mendekatkan diri kepada Allah SWT, untuk mendapatkan ridho serta mensyukuri nikmat yang diberikan Allah SWT (surat Al-Kaustar) dengan memotong hewan kurban, adalah untuk mendeka dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Memotong hewan kurban; unta, sapi, kerbau, dan kambing, dengan tujuan taqwa kepada Allah. Ditegaskan dalam surat Al-Hajj : 37 : "daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridlaan) Allah tapi ketaqwaan dari pada kamulah yang dapat mencapainya".

Waktu berkurban dimulai sejak tanggal 10 sampai dengan 13 Dzulhijjah. Masa memotong qurban pada tanggal 10 disebut "Yaumul nahar" yaitu hari untuk menyembelih kurban. Sedangkan tanggal 11, 12, 13 dinamakan "yaumul tsyriq" Di luar waktu tersebut bila kita memotong hewan dinamakan sedekah. Maka kalu niatnya berkurban harus dilakukan padan waktu-waktu tersebut, yakni pada tanggal 10,11,12, dan 13 Dzulhijjah.

Hukumnya berkurban ada dua pendapat: Petama, wajib bagi orang yag mampu (kalau dibelikan kambing tidak akan mengurangi kewajiban memberi nafkah kepada keluarga). Menurut Mazhab di luar Syarii hukumnya sunnah mu’akadah. Adapun diwajibkan secara mutlak yaitu kurban yang disebut Nadzar yang seseorang yang sudah meniatkan untuk memotong hewan apabila niatnya terkabul.

Dasar kewajiban ibadah kurban juga berdasarkan hadist Nabi Muhammad SAW: "Barang siapa mempunyai kesanggupan dan kemampuan (untuk berqurban) tapi tidak mau berqurban maka janganlah dia mendekati Musholla kami".

Hadis ini merupakan suatu kritikan yang seolah-olah Nabi Muhammad SAW berkata: "Kenapa kamu beribadah kepada Allah begitu tekun, tapi kenapa kamu tidak mau berqurban padahal kamu memiliki harta yang berlebihan". Oleh karena itulah bagi yang mampu hukumnya wajib untuk berqurban yakinlah bahwa apabila kita berqurban tidak akan mengurangi kekayaan kita dan tidak akan membuat kita menjadi miskin.

Adapun binatang yang boleh untuk berqurban adalah unta, sapi, kerbau, dan kambing. Kalau tidak mampu, memang tidak wajib. Diriwayatkan ada seorang sahabat yang miskin yang tidak sanggup membeli seekor kambing, oleh karena itu dibolehkan hanya membeli dagingnya saja untuk berqurban, tapi yang riel berqurban wujudnya memang seekor binatang sebagaimana tersebut diatas.

Daging kurban boleh dibagikan kepada tiga asnap menurut syariat. Boleh dimakan sekeluarga sendiri paling banyak 1/3 bagian, 1/3 bagian lagi untuk fakir miskin dan 1/3 bagian lagi untuk handai tolan dan kenalan. Boleh juga secara keseluruhan diserahkan kepada panitia dan terserah panitia yang membagikannya. Bila hanya minta pahanya saja bagi berqurban masih diperbolehkan asal bukan qurban nadzar.

Apa hikmah ibadah kurban?
Hikmahnya antara lain menggembirakan fakir-miskin. Sebab tidak semua orang mampu makan dengan daging walau adanya di kota besar, masih banyak kawan kita, saudara kita, tetangga kita yang makan daging sebulan sekali. Sehari-harinya hanya makan alakadarnya. Maka dianjurkan sekali bagi orang yang mampu untuk berqurban dengan niat ikhlas kelak dikemudian hari akan mengantarkan kita menuju surga yaitu binatang yang telah kita kurbankan, yang merupakan wujud amal salehnya.

Dalam hadis yang lain nabi Muhammad SAW bersabda : "Tiap-tiap rambut yang dikurbankan adalah merupakan "Khair". Ungkapan "Khair" ini mengandung arti keselamatan, kesejahteraan, kebahagiaan, kemurahan Allah dan kalau orang sudah mendapatkan khairat maka berarti dia telah memperoleh segala-galanya dari Allah. Itulah hikmah daripada ibadah qurban.

Wallaahu 'alam bish-showab

Sejarah Qurban Anak Nabi Adam, Qabil dan Habil

Sejarah Qurban masa Nabi Adam As

Pertama pada zaman Nabi Adam As. Qurban dilaksanakan oleh putra-putranya yaitu bernama Qabil dan Habil. Kekayaan yang dimiliki oleh Qabil mewakili kelompok petani, sedang Habil mewakili kelompok peternak. Saat itu sudah mulai ada perintah, siapa yang memiliki harta banyak maka sebagian hartanya dikeluarkan untuk qurban.

Sebagai petani si Qabil mengeluarkan kurbannya dari hasil pertaniannya dan sebagai peternak si Habil mengeluarkan hewan-hewan peliharaanya untuk kurban, untuk siapa semua itu diqurbankan, padahal waktu itu manusia belum banyak. Diterangkan dalam sejarah, harta yang diqurbankan itu disimpan di suatu tempat yaitu di Padang Arafah yang sekarang menjadi napak tilas bagi para jemaah haji.

Baik buah-buahan yang diqurbankan si Qabil maupun hewan ternak yang diqurbankan si Habil, dari kedua orang tersebut mempunyai sifat berbeda. Si Habil mengeluarkan hewan diqurbankan dengan tulus ikhlas. Dipilih hewan yang gemuk dan sehat, dan dia taat terhadap petunjuk ayahnya Nabi Adam.Berbeda dengan si Qabil, Dia memilih buah-buahan yang jelek-jelek dan sudah setengah busuk.

Ketika keduanya melaksanakan qurban, ternyata yang habis adalah qurban yang dikeluarkan oleh si Habil sementara buah-buahan yang dikeluarkan si Qabil tetap utuh, tidak berkurang. Hal ini dijelaskan oleh Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 27 :
"Ceritakan kepada mereka kisah kedua putra Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan qurban, maka diterima dari salah seorang dari meraka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil), Ia berkata : "Aku pasti membunuhmu!" Berkata Habil " Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa".

Kurban si Habil di terima Allah SWT karena dia mengeluarkan sebagian hartanya yang bagus-bagus dan dikeluarkan dengan tulus dan ikhlas. Sementara si Qabil mengeluarkan sebagian harta yang jelek-jelek dan terpaksa. Oleh karena kurban tidak diterima Allah. Akhirnya si Qabil menaruh dendam kepada si Habil. Berawal dari perebutan calon istrinya, dimana peraturan waktu itu dengan sistem silang.

Pendidikan adalah Politik Tingkat Tertinggi

Pendidikan adalah Politik Tingkat Tertinggi. Diambil dari wawancara majalah Sabili dengan DR. KH Abdullah Syukri Zarkasyi, MA. Salah satu pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor, yang kental mendidik santri-santrinya dengan totalitas kehidupan, salah satunya adalah kemandirian.


Gejolak ekonomi di Amerika Serikat (AS) berimbas pada kita, sepertinya kita masih belum bisa mandiri sebagai bangsa?

Keterpurukan bangsa ini terjadi di segala dimensi kehidupan. Darimana sebabnya, bagaimana ia terjadi serta solusi apa yang harus dilakukan menjadi hal yang terus diperdebatkan. Tapi menurut saya, yang paling utama adalah membentuk character building, membangun mental, membangun watak. Bagaimana caranya, maka jalurnya lewat pendidikan. Untuk itulah anggaran pendidikan kita mencapai 20% karena masalahnya di situ. Bagaimana cara membentuk character building agar kita bisa mandiri, bisa bersaing dengan bangsa lain, itu semua dilakukan di dunia pendidikan. Karena pendidikan itu adalah politik tertinggi. Dunia pendidikan bagi saya, tentunya di pesantren. Karena di pesantren itu banyak pendidikan watak. Di luar itu hanya sekadar gelar akademik, demi mendapat ijazah untuk mencari pekerjaan

Lembaga pendidikan harus memiliki jiwa dan filsafat hidup berdasarkan nilai-nilai agama. Agar menghasilkan pejuang yang memperjuangkan, bisa menjadi orang yang hidup dan menghidupi, bisa menjadi orang yang bergerak dan menggerakkan, menjadi pemimpin dan lain sebagainya. Dalam dunia pesantren ada jiwa keikhlasan, semuanya dilakukan karena Allah SWT. Ada jiwa kesederhanaan. Kesederhanaan bukan berarti melarat, tetapi sesuai dengan kebutuhan dan wajar-wajar saja. Ada jiwa kemandirian, artinya mandiri secara lembaga, secara sistem dan orangnya. Karena dalam dunia pesantren semuanya diurus dan diatur sendiri oleh para santri. Bahkan di Gontor, koperasi pelajar yang menguntungkan hingga Rp 800 juta itu dikelola oleh santri sendiri. Itulah pendidikan kemandirian.

Gurunya juga mandiri. Mereka mengelola unit usaha sendiri untuk dimakan sendiri. Oleh karena itu, guru-guru ada yang menjaga toko, mengurus sawah, mengelola penggilingan padi, mengelola pabrik roti dan lain sebagainya. Ternyata, dengan sistem kemandirian dalam bidang ekonomi ini semua baik-baik saja. Unit-unit usaha yang ada di Gontor memang banyak dikelola oleh guru. Gurunya mandiri, lembaganya juga mandiri. Bahkan orang-orang yang menjaga toko dan lainnya, bukan hanya sekadar mandiri tapi juga memandirikan lembaganya dan orang lain. Dalam pendidikan, hal yang seperti ini yang membentuk watak. Kalau dari segi akademis mungkin kurang, tapi anak-anak Gontor alhamdulillah bisa berjuang di mana saja. Baik di kota besar atau kampung kecil. Dan itulah orang besar. Orang besar menurut Gontor adalah orang yang mau berjuang dengan segala keikhlasannya, meskipun di kampung kecil atau di langgar yang terpencil.

Hubungannya dengan kemandirian bangsa?

Lalu bagaimana dengan keadaan bangsa kita yang seperti ini (masih belum bisa mandiri), segala sesuatu itu menurut pengamatan saya, yang paling bertanggungjawab adalah pimpinannya. Gontor punya 14 cabang yang terletak di berbagai tempat dengan beraneka ragam karakter dan budayanya. Namun, tetap saja nilai-nilai Gontor itu sama. Santrinya, guru-gurunya, sistemnya maupun kemandiriannya. Kenapa bisa demikian, karena yang berperan adalah para pemimpinnya. Masing-masing pemimpin cabang Gontor ini mampu mengaplikasikan nilai-nilai dan jiwa kemandirian Gontor. Oleh karena itu, menurut saya yang paling bertanggungjawab adalah para pemimpin, baik itu pimpinan negara, bangsa, umat, partai politik dan lain sebagainya. Pemimpin itu harus keras dan tegas dalam menegakkan keadilan, namun bukan berarti kasar. Karena itu adalah warna yang luarbiasa. Apapun manajemennya, yang paling bertanggungjawab adalah pimpinannya. Oleh karena itulah, kita perlu membenahi segala sesuatunya, terutama pimpinannya. Dari sini, insya Allah semuanya akan bisa dilakukan dengan baik. Tentu saja, dibutuhkan keberanian untuk melakukan itu semua.

Rasulullah mengajarkan kemandirian, namun umat Islam terbesar di dunia masih belum bisa melakukan itu semua?

Kalau pondok pesantren menurut saya, sudah bisa mandiri, tapi bangsa ini belum. Oleh karena itulah, seluruh peradaban apapun harus berdasarkan nilai-nilai. Komunis tidak berdasarkan nilai-nilai agama dan kemanusiaan, akhirnya hancur ketika belum mencapai satu abad. Amerika baru satu setengah abad juga hancur, karena tidak berdasarkan nilai-nilai agama. Oleh sebab itu, dalam membangun bangsa kita harus berdasarkan nilai-nilai dan jiwa filsafat hidup yang jelas.

Pemimpin Indonesia di masa revolusi bisa menyatukan rakyat dan membuat bangsa ini mandiri dan kuat, kenapa sekarang tidak?

Dulu kita punya musuh yang jelas, Belanda. Kita berperang merebut kemerdekaan bertaruh nyawa. Sekarang apa yang kita perjuangkan? Ada orang yang terlalu hidup enak, sebagian lagi tidak. Ada orang yang mengaku mandiri, namun tidak jelas. Tidak semua orang kaya itu mandiri, dan tidak semua orang mandiri itu kaya. Oleh karena itu, para pemimpin kita saat ini perlu bersikap mandiri. Iklim dan kondisi saat ini juga turut menentukan nasib bangsa ini. Di era globalisasi seperti sekarang ini unsur-unsur dan budaya dari luar itu begitu kuat menyerang dan kita sulit membendungnya karena kita tidak kuat. Kita lemah secara ekonomi, sistem, keuangan, politik, kultural, nilai dan lain sebagainya.

Para pemimpin dan birokrat kita perlu direformasi juga?

Ya, maka para pemimpin, para birokrat baik di legislatif maupun eksektutif itu perlu direformasi karena mereka sangat menentukan dan merupakan uswah khasanah. Merekalah yang paling bertanggungjawab terhadap nasib bangsa ini. Untuk itulah mereka harus meningkatkan kapasitas diri, dibenahi dan ditingkatkan sikap kemandiriannya.

Bagaimana mengubah paradigma bangsa dan umat ini agar bisa mandiri?

Banyak hal di dunia ini yang diekonomikan. Saat ini al-Qur’an itu diekonomikan, disosialiskan. Lupa bahwa ada nilai-nilai kejuangan. Yang perlu ditanamkan bukan nilai-nilai ekonomis. Namun hal-hal yang lebih mendasar seperti nilai-nilai jiwa dan agama. Jadi, nilai dan jiwa (ruh) bangsa ini hambar sekali, karena yang dikedepankan adalah masalah sosial kemasyarakatan dan ekonomi. Masalah rokok saja, yang dikedepankan adalah nilai ekonomi. Katanya akan muncul pengangguran. Tidak pernah memikirkan masalah kesehatan di mana jutaan orang yang mati karena rokok.

Kemudian yang perlu ditingkatkan lagi adalah masalah etos kerja dan keterampilan. Kita ini termasuk negara yang kaya dengan sumber daya alam, namun jadi negara miskin. Kenapa, karena kita masih tergantung kepada negara lain untuk melakukan eksplorasi maupun produksi. Saatnya hal ini segera dihentikan dan memberikan kesempatan kepada orang-orang terbaik kita untuk melakukan proses itu. Dan memang itu tidak, karena terkait dengan penguasaan teknologi dan lain sebagainya. Bagaimana cara kita menguasai teknologi, lagi-lagi lewat jalur pendidikan. Namun pendidikan ini tidak hanya untuk keterampilan otak semata, namun yang paling penting adalah hati (dhomir). Karena dari sinilah watak dan mental yang baik itu bisa dibentuk. Value atau nilai-nilai agama ini yang berperan penting dalam pembentukan karakter seseorang hingga ia dapat menjadi sosok yang mandiri dan tidak tergantung pada orang lain.

Apa yang dilakukan Gontor dalam menciptakan kemandirian ini?

Alhamdulillah, Gontor kini sudah mandiri. Kalau tidak, maka tidak mungkin akan dapat membuka cabang hingga 14 banyaknya. Kalau tanpa kemandirian dan ruh yang mandiri, tidak mungkin kita bisa membuka cabang-cabang itu.

Bagaimana mentransformasikan kemandirian pesantren kepada umat dan bangsa ini?

Tidak mudah memang. Kita ini lembaga swasta yang seperti itu. Negara punya kekuatan dan tentara. Kita juga menghadapi gerakan-gerakan anti-agama, sekularisasi, liberalisasi dan lain sebagainya. Makanya perjuangan kita masih banyak dan panjang. Masih banyak kerja keras yang harus kita lakukan, bahkan sampai mati.

Bisakah bangsa dan umat menjadi mandiri dan berwibawa di antara bangsa lainnya?

Kalau beberapa hal tadi bisa dipenuhi, kemudian pemimpin kita bisa bersikap tegas dan adil, insya Allah bisa.

Adakah kaitannya dengan sistem politik tertentu?

Hal ini tidak terkait dengan sistem politik apapun. Sistem politik apapun, kalau pimpinannya baik -tidak hanya presiden- tapi semua pemimpin (dalam segala bidang) dari pusat hingga daerah itu baik, maka akan baik. Dan jangan ada sakit hati dan dendam.

Dalam sebuah hadits diriwayatkan, bahwa ada seorang mujahid yang sangat bersemangat dalam berjihad. Dia selalu berada dalam garda depan ketika perang dan selalu meneriakkan takbir ketika menghadapi musuh. Namun, Rasulullah mengatakan bahwa yang bersangkutan masuk neraka. Tentu saja para sahabat bertanya-tanya, kenapa gerangan mujahid tersebut masuk neraka. Jawab Rasulullah, ia berperang bukan karena Allah SWT, namun karena dendam dan sakit hati. Jadi, dendam dan sakit hati tidak akan membawa manfaat dan kebaikan. Oleh karena itu, dalam mereformasi dan memperbaiki kualitas bangsa dan umat ini, hendaknya kita menyingkirkan dendam dan sakit hati.

Prevention is better than cure

Outline:

1.      Is it not common sense to look ahead?
2.      Is it not common sense to anticipate?
3.      The old Chinese system of paying doctors.
4.      Is our curative medicine out of date?
5.      To what other branches of life will apply?

In ancient China, there was a beautiful system of medicine in vogue. A well to do, man used to pay his officer medicine a fixed payment as long as he was in health. But whenever the patient became ill, the payment suspended until health had been restored again. In other words,
the patient paid the doctor for keeping him in health, not for curing him when in diseases. This seem starling to one accustomed to the modern system, but in reality has a great deal of common sense to recommend it.


The principle at issue is seem in the proverb: A stitch in time saves nine. Troubles and sickness spring from small beginnings and nine there causes are operating before the symptoms manifest themselves.

Nowadays we do have a good deal of preventing medicine. Vaccination, as well as various inoculation, are all evidences of treatment to prevent disease, rather than cure it. But instead of such obvious instances, we may mention a number of rules of good living which are broken, with the result that illness and diseases follow. They are: living in bad houses, eating insufficient or the wrong type of food, drinking alcoholic liquors, smoking tobacco, keeping late hours, working under condition which create strain and fatigue. Many of those cannot be avoided, because they are the accompaniments of poverty and inequality, and not in the power of sufferer to alter. But some faulty ways of living can be corrected, both by the will of the individual and by the help of social services. Obviously it is better to improve conditions of living by attacking those abuses, and so prevent ill-health than to wait for the ill health to appear and then spend money on medical services.

The principle may be applied to other department of life. The first sign of moral decay are slight and apt to escape notice. But if neglected, the next step is a complete breakdown of moral character, leading to evil conduct and crime. Much of this could be averted by wise education, by that stitch in time which will save all the future expensive machinery of return.

The Value of Discipline

The words “discipline “meant a scholar or a follower. In the ancient classical word, it signified one who attached himself to a spiritual leader, serving him and learning from him. The essence of the thought was that one recognized superiority and greatness in another person, and submitted willingly to his leadership and guidance.

There is hardly a department of human life in which discipline does not prevail. the child and the youth in the home submit to the guidance of parent in school or collage, to the leadership of his teachers. In religion he or she obeys the interaction of the spiritual leaders and in the State the man who have been elected to position of authority in the country have to be obeyed. Another word, man has voice in the making of the laws, so the discipline to which he submits is of his own making.

The greatness of man, over all other living things, arises from the fact that he is capable of organizing himself. It is bad thing if, in the jungle near our home, there should be a number of wild animals. How much worse would it be if they were capable of making their attacks on man according to organized plan, under leaders! Not all men are capable of leading and inspiring a nation: a great man is born only when great things call for him. When a great leaders arises, it is the duty of men to recognize him, to submit to him, and to follow him to death if need be. If men follow the distances of their own individual natures, there can be no society, no nation, and no social system.

A good school is one in which there is good discipline; the same is true of a good regiment. That does not mean a school under severe and cruel headmaster, or a regiment under an autocratic and stern commanding officer. A certain kind of discipline can be attained through fear and force; but it is the wrong kind. Good discipline is that which is accepted freely by all the disciples, because they know that is whole some and just.
The greatest discipline of all is that which is personal; it exists within the individual. Our heart tells us that a thing is good, but our natural desires seek something else, some satisfaction of the senses, which form the lower part of man. In that case, the heart, the soul, must be trained to prevail over senses and bring discipline into the state of man.

There is Some Good in Everithing

THis is stry about There is Some Good in Everithing

Men have always been interested in the world around them. It is their home, their setting, their environment, whatever a like to call it. We see in the world of objects, sights and sounds, many things that are pleasant and agreeable, and many things that we think to be evil. Ancient philosophers have preached that everything has some purpose of good, although we may not be able to see it clearly.


A few years ago, the farmers in an English country thought that crows were very destructive birds. They saw the crows among the crops of young corn and in the yellow fields of harvest time. It was decided that the crows were stealing or destroying the grain, and a campaign was started to destroy them. Thousands were shot.


Next year, farmers got a very poor harvest of grain and the fruit, because there was a great increase in the number of wire worms and various destructive insects. These were as a ruled killed by the crows, and formed a main part of the crow's food. So the crows were the farmer's friend, and not his enemies.

Is any man or woman wholly bad? As a rule, Shakespeare has shown that even his civil characters have a spark of virtue in them. Attila, the Hun, slew thousands, but was very fond of a small bird which he kept in a cage. A bad man is one who has more badness and goodness, and a good man, unless he is a saint, has some human frailty. The ancients preached the doctrine of a universal God, a spirit pervading all things.

Wordsworth found that God is in all objects of nature in all the things of material world. This is what we call pantheism, the theory that God is universal and in everything. But if God is in anything, how can that thing be called bad? One modern writer has argued that there is also a universal spirit of evil, and that in some men and some places, this spirit rather than God, is in possession, if that is so, we should see that our hearts are thrown open to God , for God is good.

A leading essay writer has stated boldly that some things are completely evil, and can have no possible element of good. He quotes the mosquito as an example. Coming from infection, the mosquito injects its poison into the human blood. The parasites multiply, the blood becomes pale and impoverished, and the man or woman who has become infected will probably die. What is there to put on the credit side against this? What good can the mosquito do? Then there is small organism called the liver fluke. Starting life in a stagnant pond, it makes its way out the land. It is swallowed by the sheep the worm bores its way into the liver and lives on it. The sheep dies. Millions of sheep are lost by this destructive pest. It is not true that the mosquito and the liver fluke are wholly bad, and that is likely to be God than devil that is in them.

Hikmah Puasa Sunnah Arafah


berikut adalah Hikmah Puasa Sunnah Arafah. Apa itu Puasa Arafah?


Puasa Arafah adalah puasa pada tanggal 9 Dzul hijjah. Disebut puasa arafah karena pada hari itu umat muslim yang sedang berhaji sedang wukuf di Arafah yang menjadi salah satu rukun haji. Pendapat lain mengatakan bahwa puasa Arafah menjadi pengganti ibadah haji bagi orang-orang yang belum mampu melaksanakanya, baik secara materi maupun waktu. Namun begitu, puasa ini bersifat sunnah, artinya barang siapa berpuasa mendapatkan pahala dan jikalau ditinggalkan tidak berdosa.

Kalo Puas Tarwiyah?
Pusa Tarwiyah adalah puasa pada tanggal 8 Dzulhijjah. Puasa ini sebenarnya hanya dijadikan pelengkap puasa Arafah. Kalau dicari dalam hadits atau keterangan-keterangan para ulama’ haditsnya adalah dho’if atau bahkan maudhu’. Namun karena menyuruh kepada kebaikan, maka tidak ada dosa menjalankan puasa pada tanggal 8 Dzulhijjah selama niatnya karena Allah.

Lalu, apa Hikmah puasa Arafah?
Hikmah dari puasa arafah sangat besar sekali. Diantaranya adalah sebagai pengganti hajinya orang-orang yang tidak mampu. Maksudnya adalah orang yang tidak mampu berhaji atau dalam keadaan miskin (fuqoro’). Hikmah lainya adalah bahwa barangsiapa yang berpuasa pada hari Arafah, akan diampuni/ dihapus dosa-dosa kecil setahun yang lalu dan stahun yang akan datang.

Hal ini disandarkan pada hadits shohih sebagai berrikut:
Artinya : “ ...dan puasa pada hari Arafah -aku mengharap dari Allah-
menghapuskan (dosa) satu tahun yang telah lalu dan satu tahun yang akan
datang. Dan puasa pada hari Aasyura' (tanggal 10 Muharram) -aku mengharap
dari Allah- menghapuskan (dosa) satu tahun yang telah lalu
" [Shahih Riwayat
Imam Muslim 3/168, Abu Daud no. 2425, Ahmad 5/297, 308, 311, Baihaqi 4/286
dan lain-lain].
Riwayat lain mengungkapkan:
"Puasa hari Arafah menebus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang, dan puasa Assyura (10 Muharram) menebus dosa setahun yang telah lewat."
(HR.Ahmad, Muslim dan Abu Daud dari Abi Qotadah).

Atas rahmat dan hidayah Allah pada hari Arafah ini, maka sudah sekiranya kita berusaha untuk berpuasa Arafah. Semoga amal kitaa diterima disisi-Nya dan mendapatkan hikmah puasa Arafah yaitu menggantikan ibadah haji dan diampuni dosanya setaahun yang lalu dan yang akan datang.

Wallahu a’lam bisshowab.

Manfaat Sertifiksi Guru

Selain mempunyai tujuan, pelaksanaan sertifikasi guru juga mempunyai beberapa manfaat. Manfaat utama dari sertifikasi guru adalah:[1]
1.      Melindungi profesi guru dari praktik-praktik yang merugikan citra profesi guru. Guru yang telah mempunyai sertifikat pendidik harus dapat menerapkan proses pembelajaran di kelas sesuai dengan teori dan praktik yang telah teruji.

2.      Melindungi masyarakat dari praktik pendidikan yang tidak berkualitas dan profesional. Sekolah yang mempunyai mutu pendidikan baik ditentukan dari mutu guru dan mutu proses pembelajaran di kelas. Dengan sertifikasi, mutu guru diharapkan akan meningkat sehingga meningkatkan mutu sekolah. Pada akhirnya, masyarakat dapat menilai kualitas sekolah berdasarkan mutu pendidikanya.

3.      Meningkatkan kesejahteraan ekonomi guru. Hasil sertifikasi diantaranya dapat digunakan sebagai cara untuk menentukan imbalan yang sesuai dengan prestasinya, yaitu berupa tunjangan profesi. Cara ini dapat menghindarkan dari praktik ketidakadilan. Misalnya guru berprestasi hanya mendapat imbalan kecil. Dengan demikian, kesejahteraan guru dapat meningkat sesuai dengan prestasi yang diraihnya. Namun, satu hal yang ditekankan adalah bahwa tunjangan profesi bukan munjadi tujuan utama sertifikasi. Tunjangan profesi merupakan konsekuensi logis yang menyertai kompetensi guru.

Sertifikasi tidak bisa diasumsikan mencerminkan kompetensi yang unggul sepanjang hayat. Pasca sertifikasi seyogyanya merupakan tonggak awal bagi guru untuk selalu meningkatkan kompetensi dengan cara belajar sepanjang hayat. Untuk memfasilitasi peningkatan kompetensi guru, diperlukan manajemen pengembangan kompetensi guru. Hal ini perlu dipikirkan oleh berbagai pihak yang berkepentingan, karena peningkatan kompetensi guru merupakan indikator peningkatan profesionalisme guru itu sendiri.


[1] Bedjo Sujanto, Cara Efektif Menuju Sertifikasi Guru (Jakarta: Raih Asa Sukses, 2009)

Tujuan Sertifikasi Guru

Pada dasarnya pelaksanaan sertifikasi guru mempunyai banyak tujuan. Berikut ini beberapa tujuan sertifikasi guru:[1]

1.      menentukan kelayakan guru sebagai agen pembelajaran. Agen pembelajaran berarti guru menjadi pelaku dalam proses pembelajaran. Guru yang sudah menerima sertifikat pendidik dapat diartikan sudah layak menjadi agen pembelajaran.

2.      Meningkatkan proses dan mutu pendidikan. Mutu pendidikan dapat dilihat dari mutu siswa sebagai hasil pembelajaran. Mutu siswa ini diantaranya ditentukan dari kecerdasan, minat dan usaha siswa yang bersangkutan. Guru yang bermutu dalam arti berkualitas dan profesional menentukan mutu siswa.

3.      Meningkatkan martabat guru. Dari bekal pendidikan formal dan juga berbagai kegiatan guru yang antara lain ditunjukkan dari dokumentasi data yang dikumpulkan dalam proses sertifikasi maka guru akan mentransfer lebih banyak ilmu yang dimiliki kepada siswanya. Secara psikologis, kondisi tersebut akan meningkatkan martabat guru yang bersangkutan.

4.      Meningkatkan profesionalisme. Guru yang profesional antara lain dapat ditentukan dari pendidika, pelatihan, pengembangan diri dan berbagai aktifitas lainya yang terkait dengan profesinya. Langkah awal untuk menjadi profesional dapat ditempuh dengan mengikuti sertifikasi guru.


[1]Bedjo Sujanto, Cara Efektik Menuju Sertifikasi Guru (Jakarta: Raih Asa Sukses, 2009)

Piagam Madinah Cikal Bakal Peradaban dunia

Piagam Madinah Cikal Bakal Peradaban dunia, Meskipun kata ‘Piagam Madinh’ ini tak asing lagi, namun banyak orang-orang muslim tidak mengetahuinya. Piagam Madinah dikenal dengan nama Konstitusi Madinah, yaitu sebuah dokumen yang disusun oleh Nabi Muhammad SAW berisi suatu perjanjian formal antara ummat Islam dengan semua suku serta kaum di Yatsrib (Sekarang Madinah) tahun 622 M. Dokumen tersebut disusun dengan sejelas-jelasnya dengan tujuan utama menghentikan pertentangan sengit antara Bani ‘Aus dan Bani Kharaj di Madinah. Dokumen tersebut menetapkan sejumlah hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi Kaum Muslimin, Yahudi dan Nasrani yang berdomisili/ menetap di kota Madinah; sehingga membuat mereka menjadi suatu kesatuan komunitas yang menjadi cikal bakal negara.

Piagam Madinah dalam bahasa Arab disebut ميثاق المدينة, Mitsaqu-l Madinah atau perjanjian Madinah. Piagam ini menjadi Undang-Undang dasar pertamakali di dunia. Belum ada sebuah kesatuan manapun yang membuat piagam seperti piagam Rasulullah SAW. Bahkan, bangsa yang katanya berperadaban tinggi disekitar Arab seperti Persia, Roma, Syam, dan lain sebagainya tidak membuat suatu piagam atau undang-undang dasar layaknya milik ummat Islam kala itu. Maka, tak bisa dipungkiri bahwa piagam Madinah adalah cikal bakal/ tonggak peradaban dunia yang tinggi.

The Madinah Charter/ Constitution 622 C E

The Madinah Chater/ Constitution 622 C.E.

In the name of God the Compassionate, the Merciful.

1.      This is a document from Muhammad the Prophet (may Allah bless him and grant him peace), governing relations between the Believers i.e. Muslims of Quraysh and Yathrib and those who followed them and worked hard with them. They form one nation -- Ummah.

2.      The Quraysh Mohajireen will continue to pay blood money, according to their present custom.

3.      In case of war with any body they will redeem their prisoners with kindness and justice common among Believers. (Not according to pre-Islamic nations where the rich and the poor were treated differently).

4.      The Bani Auwf will decide the blood money, within themselves, according to their existing custom.

5.      In case of war with anybody all parties other than Muslims will redeem their prisoners with kindness and justice according to practice among Believers and not in accordance with pre-Islamic notions.

6.      The Bani Saeeda, the Bani Harith, the Bani Jusham and the Bani Najjar will be governed on the lines of the above (principles)

7.      The Bani Amr, Bani Awf, Bani Al-Nabeet, and Bani Al-Aws will be governed in the same manner.

8.      Believers will not fail to redeem their prisoners they will pay blood money on their behalf. It will be a common responsibility of the Ummat and not of the family of the prisoners to pay blood money.

9.      A Believer will not make the freedman of another Believer as his ally against the wishes of the other Believers.

10.  The Believers, who fear Allah, will oppose the rebellious elements and those that encourage injustice or sin, or enmity or corruption among Believers.

11.  If anyone is guilty of any such act all the Believers will oppose him even if he be the son of any one of them.

12.  A Believer will not kill another Believer, for the sake of an un-Believer. (i.e. even though the un-Believer is his close relative).

13.  No Believer will help an un-Believer against a Believer.

14.  Protection (when given) in the Name of Allah will be common. The weakest among Believers may give protection (In the Name of Allah) and it will be binding on all Believers.

15.  Believers are all friends to each other to the exclusion of all others.

16.  Those Jews who follow the Believers will be helped and will be treated with equality. (Social, legal and economic equality is promised to all loyal citizens of the State).

17.  No Jew will be wronged for being a Jew.

18.  The enemies of the Jews who follow us will not be helped.

19.  The peace of the Believers (of the State of Madinah) cannot be divided. (it is either peace or war for all. It cannot be that a part of the population is at war with the outsiders and a part is at peace).

20.  No separate peace will be made by anyone in Madinah when Believers are fighting in the Path of Allah.

21.  Conditions of peace and war and the accompanying ease or hardships must be fair and equitable to all citizens alike.

22.  When going out on expeditions a rider must take his fellow member of the Army-share his ride.

23.  The Believers must avenge the blood of one another when fighting in the Path of Allah (This clause was to remind those in front of whom there may be less severe fighting that the cause was common to all. This also meant that although each battle appeared a separate entity it was in fact a part of the War, which affected all Muslims equally).

24.  The Believers (because they fear Allah) are better in showing steadfastness and as a result receive guidance from Allah in this respect. Others must also aspire to come up to the same standard of steadfastness.

25.  No un-Believer will be permitted to take the property of the Quraysh (the enemy) under his protection. Enemy property must be surrendered to the State.

26.  No un-Believer will intervene in favors of a Quraysh, (because the Quraysh having declared war are the enemy).

27.  If any un-believer kills a Believer, without good cause, he shall be killed in return, unless the next of kin are satisfied (as it creates law and order problems and weakens the defence of the State). All Believers shall be against such a wrong-doer. No Believer will be allowed to shelter such a man.

28.  When you differ on anything (regarding this Document) the matter shall be referred to Allah and Muhammad (may Allah bless him and grant him peace).

29.  The Jews will contribute towards the war when fighting alongside the Believers.

30.  The Jews of Bani Auwf will be treated as one community with the Believers. The Jews have their religion. This will also apply to their freedmen. The exception will be those who act unjustly and sinfully. By so doing they wrong themselves and their families.

31.  The same applies to Jews of Bani Al-Najjar, Bani Al Harith, Bani Saeeda, Bani Jusham, Bani Al Aws, Thaalba, and the Jaffna, (a clan of the Bani Thaalba) and the Bani Al Shutayba.

32.  Loyalty gives protection against treachery. (loyal people are protected by their friends against treachery. As long as a person remains loyal to the State he is not likely to succumb to the ideas of being treacherous. He protects himself against weakness).

33.  The freedmen of Thaalba will be afforded the same status as Thaalba themselves. This status is for fair dealings and full justice as a right and equal responsibility for military service.

34.  Those in alliance with the Jews will be given the same treatment as the Jews.

35.  No one (no tribe which is party to the Pact) shall go to war except with the permission of Muhammad (may Allah bless him and grant him peace). If any wrong has been done to any person or party it may be avenged.

36.  Any one who kills another without warning (there being no just cause for it) amounts to his slaying himself and his household, unless the killing was done due to a wrong being done to him.

37.  The Jews must bear their own expenses (in War) and the Muslims bear their expenses.

38.  If anyone attacks anyone who is a party to this Pact the other must come to his help.

39.  They (parties to this Pact) must seek mutual advice and consultation.

40.  Loyalty gives protection against treachery. Those who avoid mutual consultation do so because of lack of sincerity and loyalty.

41.  A man will not be made liable for misdeeds of his ally.

42.  Anyone (any individual or party) who is wronged must be helped.

43.  The Jews must pay (for war) with the Muslims. (this clause appears to be for occasions when Jews are not taking part in the war. Clause 37 deals with occasions when they are taking part in war).

44.  Yathrib will be Sanctuary for the people of this Pact.

45.  A stranger (individual) who has been given protection (by anyone party to this Pact) will be treated as his host (who has given him protection) while (he is) doing no harm and is not committing any crime. Those given protection but indulging in anti-state activities will be liable to punishment.

46.  A woman will be given protection only with the consent of her family (Guardian). (a good precaution to avoid inter-tribal conflicts).

47.  In case of any dispute or controversy, which may result in trouble the matter must be referred to Allah and Muhammad (may Allah bless him and grant him peace), The Prophet (may Allah bless him and grant him peace) of Allah will accept anything in this document, which is for (bringing about) piety and goodness.

48.  Quraysh and their allies will not be given protection.

49.  The parties to this Pact are bound to help each other in the event of an attack on Yathrib.

50.  If they (the parties to the Pact other than the Muslims) are called upon to make and maintain peace (within the State) they must do so. If a similar demand (of making and maintaining peace) is made on the Muslims, it must be carried out, except when the Muslims are already engaged in a war in the Path of Allah. (so that no secret ally of the enemy can aid the enemy by calling upon Muslims to end hostilities under this clause).

51.  Everyone (individual) will have his share (of treatment) in accordance with what party he belongs to. Individuals must benefit or suffer for the good or bad deed of the group they belong to. Without such a rule party affiliations and discipline cannot be maintained.

52.  The Jews of al-Auws, including their freedmen, have the same standing, as other parties to the Pact, as long as they are loyal to the Pact. Loyalty is a protection against treachery.

53.  Anyone who acts loyally or otherwise does it for his own good (or loss).

54.  Allah approves this Document.

55.  This document will not (be employed to) protect one who is unjust or commits a crime (against other parties of the Pact).

56.  Whether an individual goes out to fight (in accordance with the terms of this Pact) or remains in his home, he will be safe unless he has committed a crime or is a sinner. (i.e. No one will be punished in his individual capacity for not having gone out to fight in accordance with the terms of this Pact).

57.  Allah is the Protector of the good people and those who fear Allah, and Muhammad (may Allah bless him and grant him peace) is the Messenger of Allah (He guarantees protection for those who are good and fear Allah).

Definisi Ahlul kitab dalam Islam

Siapa itu Ahlulkitab?

berikut Definisi Ahlul kitab dalam Islam. Istilah ahlul kitab berasal dari dua kata bahasa arab yaitu ahl dan kitab. Ahl/ahlu berarti pemilik sedangkan kitab berarti kitab/buku suci. Jadi, ahlukitab berarti, “Pemilik Kitab”, yakni para ummat nabi yang diberi kitab suci (wahyu Allah), seperti orang Yahudi dan Nasrani. Mereka diberi kitab taurat dan injil.



Ahlu-l kitab atau orang yang diberi kitab suci, dalam Al-Qur’an memiliki status khusus dan sangat unik. Menurut para ahli, islam adalah agama pertamakali memperkenalkan konsep toleransi serta kebebasan beragama kepada umat manusia. Para ahlukitab di wilayah Islam tunduk dibawah undang-undang Islam dalam status zimmi (minoritas). Mereka membayar jizyah (pajak) sebagai imbalan perlindungan hak sipil yang mereka nikmati. Mereka pula diberi kebebasan untuk beribadah menurut kitab yang dimilikinya.

Di kalangan ahlukitab ada orang yang teguh.

Al-Qur’an menyebutkan, “Mereka itu tidak sama; diantara ahli kitab itu ada yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang). Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan, mereka menyuruh kepada yang ma’ruf (baik) dan mencegah dari yang munkar (buruk) dan bersegera kepada (mengerjakan) berbagai kebaikan; mereka itu termasuk orang-orang yang saleh. Dan apasaja kebajikan yang mereka kerjakan, maka sekali-kali mereka tiding dihalangi (menerima pahalanya); dan allah Maha Mengetahui orang-orang yang bertakwa” (QS: 3: 113-115)

Pengertin ADAT dalam Islam

Apa itu ADAT?

Berikut adalah Pengertin ADAT dalam Islam. Adat adalah sesuatu yang dikerjakan dan diucapkan berulang kali, hingga dianggap baik oleh akal pikiran. Istilah lain adalah ‘urf, yang diartikan sebagai “yang dikenal dan dianggap baik”. Menurut sebagian ulama’, ada perbedaan antara adat (‘adah) dan ‘urf. ‘adah adalah kebiasaan dalam suatu perbuatan atau perkataan tanpa hubungan rasional dan bersifat pribadi, seperti kebiasaan makan, tidur dan lain-lain. Sedangkan ‘urf adalah kebiasaan kebanyakan masyarakat, baik dalam perkataan maupun perbuatan. Istilah adat dalam bahasa Indonesia lebih dekat dengan pengertian ‘urf dalam bahasa arab, bukan ‘adah. Adat menempati posisi penting dalam Islam karena bias dijadikan dalil dalam menetapkan hokum.

Adat Basandi Syarak
Salah satu kuatnya hubungan antara adat dan Islam adalah dasar filsafat adat masyarakat minangkabau yang berbunyi, “Adat basandi Syarak, syarak besandi kitabullah”. Filsafat tersebut berarti, “adat bersendikan syari’at (ajaran agama) dan Syari’at bersendikan kitabullah (Kitab Allah/ Al-Qur’an).

Bisakah adat dijadikan dalil?

Para ulama’ ushulul fiqh sepakat bahwa adat yang tidak bertentangan dengan syari’at islam dapat dijadikan dalil dalam menetapkan hokum islam. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang berbunyi, “Sesuatu yang dipandang baik oleh kaum muslim, maka disisi Allah juga baik”. Karenanya, dalam menetapkan suatu hokum, ulama harus terlebih dahulu meneliti kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat setempat, sehingga hokum yang ditetapkan tidak bertentangan atau menghilangkan kemaslahatan masyarakat tersebut.



Sumber: Ensiklopedi Islam untuk Pelajar, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta 2001.

Arti Filosofis Ke Gontor apa yang Kau Cari?

Terdapat Arti Filosofis Ke Gontor apa yang Kau Cari?. Dimana tulisan ini selalu dapat dilihat jelas di setiap Pondok Modern Darussalam Gontor. Dalam buku Khutbatul Arsy, dijelaskan arti filosofisnya sebagai berikut.

Sebenarnya, kita datang ke gontor ini untuk apa? Atas dasar apa? Mau cari apa? Mengapa? Atas beberapa pertanyaan ini kita harus bias menjawabnya. Kalau kita dapat menjawab untuk apa ke Gontor maka akan jelas tujuan kita dan dimana ada tujuan, kemauan untuk meraih tujuan tersebut akan tampak dan dimana ada kemauan disitu ada jalan. Maka, kita harus tau apa tujuan kita datang ke pondok ini.

Perlu diinsyafi/diketahui dan disadari oleh setiap pelajar, bahkan tiap-tiap siswa sewaktu-waktu harus bertanya kepada diri sendiri: Datang Kesini mencari apa? Apakah saya datang kesini untuk mencari enaknya saja? Apakah hanya untuk mencari teman? Apakah hanya untuk bermain? Asal kita gembira saja?

Kalau datang kesini hanya mencari teman, cari keramaian, disini bukan tempatnya. Dipasar dan bioskop jauh lebih banyak dan lebih ramai.

Kalau disini hanya mencari keenakan, disini bukan tempatnya. Di hotel lebih nyaman, ada pembantunya ada yang melayani.

Kalau datang kesini hanya untuk bercanda dan bermain, disini bukan tempatnya. Ditaman atau tempat rekreasi lebih banyak permainan, bisa tertawa dan bermain sepuasnya.

Jadi, datang kesini cari apa?
Kalau siswa menjawab, “Saya datang kesini, semata-matauntuk mencari ilmu dan pendidikan”, inilah jawaban yang tepat.

Makan tidak enak, tidur tidak nyenyak, tidak menjadi soal/masalah kalau benar-benar yang dicari ilmu, kecakapan dan pendidikan.

Duduk di kelas satu, sejajar dengan anak-anak kecil tidak menjadi soal. Kamu datang kesini bukan untuk mencari kelas, tetapi mencari ilmu. Bukankan yang diwajibkan Nabi kepada lita adalah TALABUL ILMI(طلب العلم) bukan TALABUL FASLI (طلب الفصل)? Mencari Ilmu bukan mencari kelas.

Juga tidak tepat apabila yang dicari hanya ilmu umumnya saja, atau ilmu agamanya saja, atau hanya bahasa arab saja atau bahasa inggris saja. Disini harus mengikuti rencana pendidikan Gontor.

Maka dari itu, perlu disadari agar jangan salah alamat, salah tujuan, agar tidak menyesal kemudian. Harus selalu diingat pertanyaan, “Ke Gontor Apa yang Kau Cari?”. Ini kadang pernah terjadi:

  • Hanya terpesona pada sesuatu yang buka tujuan…kemudian lupa, lari…, dan pindah

  • Hanya kalah bermain olahraga, kecewa… kemudian tidak kerasan

  • Hanya kalah pengaruh kepandaian dengan kawan… kecil hati, lari…

  • Hanya karena dipuja-puja temanya…lupa tujuan…

  • Hanya terjebak bujukan kawan/setan …kemudian lari, pindah…

  • Hanya kebetulan kawan yang akrab/ kawan deat di pondok pulang… ikut-ikutan pulang juga. Katanya… setia kawan
Ini harus selalu diingat, agar tidak mudah tergoda/terkena penyakit serta agar kita dapat mencapai/mendapatkan apa yang sebenarnya kita cari di pondok, yaitu: Ilmu dan Pendidikan.

Ingatlah selalu apa yang kita cari:

  • Berjalan sampai ke batas/tujuan

  • Berlayar sampai ke pulau



Panggung Gembira Gontor 682 2007

In eighty two years, Gontor with its spirit, values, systems, and philosophies, colors a life in Islamic spirit, assumed a form of new culture within Gontor community, the Islamic Community. It was based on the desire of Gontor’s Trimurti to built a thousand Gontors, and by means of all seriousness and strong will of the it’s headmasters, theachers, students, and all alumnus, the Gontor community with it’s culture is spread as islamic magnificence on the world.
And at its moment, Gontor culture will color world’s life. Gontor culture will become the world’s culture. By means of Gontor culture, we color the world.

Petikan kata diatas adalah tema dan misi Pagelaran Seni Panggung Gembira 682 Siswa Akhir KMI (Kulliyatu-l Mu’allimin Al-Islamiyah) Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo). Tema ini diambil bukan karena kesombongan, namun terlebih pada keoptimisan kami sebagai siswa akhir KMI yang akan terjun dan mulai berkiprah baik di pondok ataupun di masyarakat. Memang sepertinya temanya itu kebesaran nama, namun itu menunjukkan semangat kami ang menggebu-gebu. Hal ini selaras dengan perkataan para kyai kita, “Wujudkan seribu Gontor di Dunia”

Panggung Gembira 682 diadakan di Pondok Gontor pada tanggal 6 desember 2007. Acara ini berlangsung amat meriah. Terlihat dari para penonton yang memenuhi bangku dan sebagian lain naik ke gedung Aligarh lantai dua hanya untuk menyaksikan acara PG ini. Sebagian yang lain duduk di tangga masjid Jami’ atau dimana saja yang penting dapat melihat acara mahakarya seni ini.

Pagelaran Seni Panggung Gembira ini adalah acara penghujung dari rentetan acara Pekan Perkenalan Khutbatu-l Arsy Pondok Modern Darussalam Gontor. Jadi, acara ini bukan acara komersial yang diadakan untuk mendapatkan keuntungan, namun lebih dari itu acara ini ditujukan untuk pendidikan. Didalamnya para santri dilatih untuk tampil diatas panggung, saling berkomunikasi dan berkolaborasi untuk mendapatkan hasil yang maksimal.

PG (Panggung Gembira) pada tahun ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Ada halhal yang baru misalnya: symphony 682, Candi (Canda Islami) yang diselingi dengan film nagabonar jadi 2, Tari Nusantara yang tidak terputus, Tari Aceh Terpanjang, dan lain sebagainya. Lagi pula cuaca malam hari penampilan sangat cerah, tidak seperti acara PG pada tahun-tahun sebelumnya yang diguyur hujan.
KH Hasan Abdullah sahal menilai acara ini cukup bagus dan menggembirakan. Hal ini terbukti dari keserasian pemain, panggung, lighting dan kolaborasi yang bagus. Sehingga ia berujar, “panggung gembira kali ini hebat tanpa cacat”.

Tanpa cacat disini lebih ditekankan pada pergantian dari satu acara ke acara lainya tanpa jeda, membuat para penonton terus membuka matanya yang pada akhirnya tanpa terasa sudah pertengahan malam dan acara pun telah selesai. Jadi, seakan mereka tidak merasakan kepenatan yang berarti. Bahkan diantara para anggota ada yang makanan kecil yang dibawanya belum sempat termakan karena melotot menonton PG 682 dari awal hingga akhir tanpa jeda.


Sekilas Tentang Sertifikasi Guru

Sebagaimana profesi lain, menjadi guru pun harus profesional
Sekilas Tentang Sertifikasi Guru. Adanya profesionalitas akan menjamin mutu pekerjaan suatu profesi. Oleh karena itu, pemerintah melalui instrumen Peraturan menteri No. 18 Tahun 2007 menetapkan program sertifikasi guru dalam jabatan. Pengertian guru dalam jabatan ialah semua guru yang saat ini mengajar di sekolah sebagai guru, baik guru negri maupun swasta.[1]

Guru-guru yang bisa mengikuti sertifikasi adalah guru-guru yang telah mengajar pada jenjang pendidikan tertentu, baik pendidikan usia dini, pendidikan dasar maupun pendidikan menengah yang berada di bawah payung Departemen Pendidikan Nasional dan departemen Agama. Peserta sertifikasi harus sudah memenuhi standar kualifikasi sekurang-kurangnya S1 atau D IV pada bidang yang ditekuninya.

Secara garis besar, pelaksanaan sertifikasi dilakukan dengan mengumpulkan data-data yang dimiliki oleh guru bersangkutan denga tugas dan profesinya sebagai agen pembelajaran. Beberapa data yang dikumpulkan tersebut diantaranya berupa ijazah yang menunjukkan kualifikasi akademik; sertifikat, piagam atau surat keteranga dalam mengikuti kegiatan pendidikan dan pelatihan (diklat) serta dalam mengikuti lomba dan karya akademik.


[1] Bedjo Sujanto, Cara Efektif Menuju Sertifikasi Guru (Jakarta: Raih Asa Sukses, 2009) h. 6

Jenis dan Penjelasan Kompetensi Guru

inilah Jenis dan Penjelasan Kompetensi Guru. Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan keterampilan dan perilaku tugas yang harus dimiliki. Seteah dimiliki, tentu harus dihayati, dikuasai dan diwujudkan oleh guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalan di dalam kelas yang disebut sebagai pengajaran.
Kompetensi guru meliputi: kompetensi pedagogik (pendidikan), kepribdian, sosial dan profesional sebagai tuntutan dari profesi.

Kompetisi Pedagogik

Merupakan kemampuan guru dalam pengolahan pembelajaran untuk kepentingan peserta didik. Paling tidak harus meliputi pemahaman wawasan atau landasan kepemimpinan dan pemahaman terhadap peserta didik.

Selain itu, juga meliputi kemampuan dalam pengembangan kurikulum dan silabus. Termasuk perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi akhir belajar dan pengembangan peserta didik di dalamnya. Ini semua dimaksudkan demi mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki guru, sekali lagi untuk kepentingan pencapaian tujuan pembelajaran.

Kompetensi Kepribadian

Mencakup kepribadian yang baik, stabil, dewasa, arif dan bijaksana. Tentu saja berakhlak mulia, serta menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat. Secara objektif mampu mengevaluasi kinerja sendiri dan mengembangkan diri secara mandiri dan berkelanjutan.

Kompetensi Sosial

Kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat yang sekurang-kurangnya meliputi kompetensi agar mampu berkommunikasi lisan, tulisan atau secara isyarat. Mampu ula memilih, memilah dan memanfaatkan alat telekomunikasi yang sesuai secara fungsional dan bergaul ecara efektif dengan berbagai kalangan serta lapisan.

Pergaulan itu bisa dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, dan wali peserta didik. Ini berarti bahwa guru dalam konteks kompetensi sosial harus kompoten bergaul secara santun dengan masyarakat di sekitar tempat kerja dan di lingkungan tempat tinggalnya.

Kompetensi Profesional

Merupakan wujud nyata kemampuan penguasaan atas materi pelajaran secra luas dan mendalam. Mengerti tujuan diajarkanya materi dan acuan hasil yang akan didapat setelah proses pengajaran. Mampu mempresentasikan dan memperkaya dengan bacaan-bacaan bermutu.
Sumber: M. Gorky sembiring, Mengungkap Rahasia dan Tips manur Menjadi guru sejati, (Yogyakarta: Galang Press, 2008)

Definisi Guru dari masa ke masa

Beginilah Definisi Guru dari masa ke masa. Menelisik Kembali Sejarah Guru. Sebelum melangkah lebih jauh, marilah kita melihat kembali arti guru. WJS Poerwadarminta dalam kamus umum bahasa Indonesia yang disusunya mengartika bahwa guru adalah orang yang pekerjaanya mengajar.[1] Dalam Ensiklopedi bebas Wikipedia, menggambarkan guru umumnya merujuk pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik.[2]
Dalam lintasan sejarah, guru memegang peranan-peranan penting dalam menjalankan dan mengendalikan pimpinan negara dan kerajaan pada zaman dahulu kala

Dalam sejarah mesir kuno, guru adalah seorang filosof yang menjadi penasihat raja. Kata-kata guru menjadi pedoman dalam memimpin negara. Dalam zaman kegilangan falsafah Yunani, Socrates, Plto dan Aristoteles adalah guru-guru yang mempengaruhi perjalanan sejarah Yunani. Karena itulah, para filosof arab mengatakan Aristoteles sebagai guru pertama. Sedang Al-Farabi, orang yang paling mengetahui tentang falsafah Aristoteles diberi gelar guru kedua.[3]
Dalam sejarah Islam, guru adalah ulama’

Nabi Muhammad SAW sebagai penerima wahyu mengajarkan wahyu itu kepada pengikut-pengikutnya. Mula-mula di rumahnya sendiri, kemudian rumah saudara-saudaranya barulah ke khayalak umum. Dalam seluruh kegiatan Nabi tersebut, guru selalu disertakan. Dalam perjanjian, perang juga menyebarkan ajaran Islam ke daerah-daerah yang baru.

Setelah negara Islam bertambah luas, disiapkanlah orang-orang tertentu yang mengajarkan Islam kepada anak-anak, remaja maupun orang dewasa. Sudah tentu orang yang menjalankan pengajaran itu adalah orang yang paling mengerti akan Islam. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwasanya “ulama’ adalah pewaris para nabi”.

Sejarah perkembangan sekolah dalam dalam Islam menunjukkan bahwa pendidikan Islam diadakan di pondok-pondok, madrasah atau surau didirikan sebab adanya ulama’ terkenal yang dikunjungi oleh murid-murid dari berbagai pelosok. Seperti Imam Syafi’i yang pergi berguru pada Imam Malik di Madinah, walau Imam Syafi’i lahir di Palestina dan dibesarkan di Mekah. Begitu juga Imam Al-Ghazali pergi berguru kepada Imam Al-Juwaini yang bergelar Imam Al-Haramain, walau Imam Al-Ghazali berasal dari Khurasan (sekarang di Iran). Hubungan murid dan guru begitu eratnya sehingga walaupun seorang murid lebih masyhur daripada gurunya, tetapi ia selalu setia dan hormat kepadanya.

Arti guru menjadi lain ketika penjajahan barat menginjakkan kakinya di negri jajahanya. Contohnya penjajahan belanda di nusantara. Berdirilah sekolah Belanda di negri ini. Namun, sekolah itu bukan karena ada ulama’ terkenal yang dikunjungi oleh murid-murid dari seluruh pelosok, tetapi sebab penjajah itu perlu pegawai untuk menjalankan penjajahan mereka. Dengan kata lain, sekolah bertujuan menghasilkan orang yang dapat menjadi pegawai atau pekerja bila tak mau disebut alat penjajah. Bahkan, beberapa anak pintar di sekolah dilarang meneruskan ke jenjang selanjutnya sebab dikhawatirkan akan menuntut kemerdekaan.

Arti guru dan sekolah berubah kembali pada masa setelah kemerdekaan. Setelah merdeka, timbul tujuan-tujuan lain selain penciptaan tenaga kerja dan pegawai. Misalnya, perpaduan negara, pengembangan sumber daya manusia, perbaikan mutu pendidikan dan lain sebagainya. Dengan kata lain, timbullah nilai-nilai baru yang harus menjadi tujuan kurikulum pelatihan guru yang dalam masa penjajahan tidak terwujud.


[1] WJS Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia,(Jakarta: Balai Pustaka, 2007) h.393

[2] Ensiklopedi Bebas Wikipedia, id.wikipedia.org/wiki/Guru

[3] Prof. Dr. Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, suatu analisa psikologi dan pendidikan (Jakarta: Al-Hussna Dzikra, 1995) h.228

Definisi Pendidikan Islam

Definisi dan Arti Pendidikan Islam. Arti pendidikan sangat beragam. Definisi atau pengertian pendidikan antara seorang ahli dan yang lainya tidaklah sama. Apalagi ahli-ahli pada zaman dahulu dan zaman sekarang. Berikut beberapa definisi pendidikan.


Menurut Prof. Dr. John Dewey, pendidikan adalah suatu proses pengalaman. Karena kehidupan adalah pertumbuhan, pendidikan berarti membantu pertumbuhan batin tanpa dibatasi oleh usia. Proses pertumbuhan ialah proses menyesuaikan pada tiap-tiap fase serta menambahkan kecakapan di dalam perkembangan seseorang.[1]

Menurut Prof. Herman H. Horn, pendidikan adalah proses abadi dari penyesuaian lebih tinggi bagi makhluk yang telah berkembang secara fisk dan mental yang bebas dan sadar kepada Tuhan seperti termanifestasikan dalam alam sekitar, intelektual, emosional dan kemauan dari manusia.[2]

Menurut Prof. H. Mahmud Yunus, pendidikan adalah usaha-usaha yang sengaja dipilih untuk mempengaruhi dan membantu anak dengan tujuan peningkatan keilmuan, jasmani dan akhlak sehingga secara bertahap dapat mengantarkan si anak kepada tujuannya yang paling tinggi. Agar si anak hidup bahagia, serta seluruh apa yang dilakukanya menjadi bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat.[3]

Mnurut hemat kami, pengertian yang diberikan oleh Prof. H. Mahmud Yunus lebih mengena dan menyeluruh dibanding pengertian-pengertian pendidikan menurut para pakar lainya.

Pendapat diatas adalah pengertian tentang pendidikan. bila dikaitkan dengan Islam, maka menjadi “Pendidikan Islam”. Nama baru ini tentunya memiliki pengertian tersendiri dari pengertian-pengertian di atas, walau dalam kenyataanya masih dapat ditarik benang merah diantara beberapa pengertian tersebut. Beberpa pengertian tentang pendidikan Islam adalah sebagai berikut:

M. Yusuf Al-Qardhawi memberikan pengertian bahwa: “pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya; akal dan hatinya; rohani dan jasmaninya; akhlak dan ketrampilanya. Karena itu, pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup, baik dalam keadaan damai maupun perang dan menyiapkanya untuk masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatanya, manis dan pahitnya”.[4]

Hasan Langgulung merumuskan pendidikan islam sebagai suatu “proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya di akhirat”.[5]

Menurut Syah Muhammad A. Naquib Al-Attas, pendidikan Islam ialah usaha yang dilakukan pendidik terhadap anak didik untuk pengenalan dan pengakuan tempat-tempat yang benar dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan. Sehingga, membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan akan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan kepribadian.[6]

Sedangkan menurut M. Arifin, pendidikan Islam adalah system pendidikan yang dapat memberikan kemampuan seseorang untuk memimpin kehidupanya sesuai dengan cita-cita Islam, karena nilai-nilai Islam telah menjiwai dan mewarnai corak kepribadianya.[7]

Dari pengertian-pengertian diatas, dapatlah kita mengambil benang merah pengertian pendidikan Islam. Pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya yang dilakukan oleh seorang dewasa kepada anak didik untuk mempersiapkan kehidupan yang lebih baik. Dalam prakteknya, pendidikan Islam bukan hanya pemindahan pengetahuan kepada anak didik, namun perlu diintegrasikan antara tarbiyah, ta’lim dan ta’dib, sehingga dapatlah seseorang yang telah mendapatkan pendidikan Islam memiliki kepribadian muslim yang mengimplementasikan syari’at Islam dalam kehidupan sehari-hari, serta hidup bahagia di dunia dan akhirat.


[1] Hafi Anshari, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1983)

[2] Ibid. hal 27

[3] Op.Cit, Mahmud Yunus, At-Tarbiyyah wa Ta’lim

[4] Yusuf Al-Qardhawi, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan Al-Banna, terj. Prof. H. Bustami A. Gani dan Drs.Zainal Abidin Ahmad (Jakarta: Bulan Bintang, 1980) h.157

[5] Hasan Langgulung, Beberapa pemikiran tentang pendidikan Islam (Bandung: Al-Ma’arif, 1980) h.94

[6] Drs. H. Hamdani Ihsan dan Drs. H. A. Fuad Hasan, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 1998) h.16

[7] Op.Cit, M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, h.10

Laporan Aktualisasi Latsar: Peningkatan Kemampuan Membaca Al-Qur'an Kelas V SDN 006 Penarikan

Laporan Aktualisasi: Peningkatan Kemampuan Membaca Al-Qur'an Kelas V SDN 006 Penarikan, Kecamatan Langgam, Kabupaten Pelalawan, Riau ...