TIPOLOGI PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM

[caption id="attachment_732" align="alignright" width="235" caption="Pesantren, dari pemikiran Islam"]TIPOLOGI PEMIKIRAN PENDIDIKAN iSLAM[/caption]

Dalam kajian pemikiran (filsafat) pendidikan Islam, beberapa ahli pendidikan Islam menggarisbawahi adnaya tiga alur pemikiran dalam menjawab persoalan pendidikan, yaitu:

pertama, kelompok yang berusaha membangun konsep (filosofis) pendidikan Islam, disamping melalui al-Qur’an dan al-Hadits sebagai sumber utama, juga mempertimbangkan kata sahabat, kemaslahatan sosial, nilai-nilai dan kebiasaan sosial, serta pandangan-pandangan pemikir Islam.

Kedua, kelompok yang berusaha mengangkat konsep pendidikan Islam dari al-Qur’an dan al-Hadits, sehingga konsep filsafatnya hanya berasal dari kedua sumber ajaran Islam tersebut.

Ketiga, kelompok yang berusaha membangun pemikiran (filsafat) pendidikan Islam melalui al-Qur’an dan al-Hadit, dan bersedia menerima setiap perubahan dan perkembangan budaya baru yang dihadapinya untuk ditransformasikan menjadi budaya yang Islami.[1]

Disisi lain, pengembangan pemikiran (filosofis) pendidikan Islam juga dapat dicermati dari pola pemikiran Islam yang berkembang menjawab tantangan perubahan zaman serta era modernitas. Sehubungan dengan itu, Abdullah (1996) mencermati adanya empat model pemikiran keislaman, yaitu:[2]

1. Tekstualis Salafi

Pemikiran Islam model ini berupaya memahami ajaran-ajaran dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunah dengan melepaskan diri dan kurang begitu mempertimbangkan situasi kongkrit dinamika pergumulan masyarakat muslim (era klasik maupun kontemporer) yang mengitarinya. Masyarakat ideal yang diidam-idamkan adalah masyarakat salaf, yakni struktur masyarakat era kenabian Muhammad SAW dan para sahabat yang menyertainya. Rujukan utama pemikirannya adalah kitab suci Al-Qur’an dan kitab-kitab Hadits. Tanpa menggunakan pendekatan keilmuan yang lain. Sehingga model pemikiran ini terlihat kurang peka terhadap perubahan dan hanya menjadikan masyarakat salaf sebagai parameter dalam menjawab tantangan dan perubahan zaman serta era modenitas.

2. Tradisionalis Mazhabi

Dalam pandangan pemikiran model tradisional salafi, ajaran-ajaran dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunah dipahami melalui bantuan khazanah pemikiran Islam klasik, tetapi sering kali kurang begitu memperhatikan situasi historis dan sosiologis masyarakat setempat di mana ia turut hidup di dalamnya. Hasil pemikiran ulama’ terdahulu dianggap sudah pasti dan absolute tanpa mempertimbangkan dimensi historisitasnya. Masyarakat muslim yang diidealkan adalah masyarakat muslim era klasik, dimana semua persoalan keagamaan dianggap telah terkupas habis oleh para ulama atau cendikiawan muslim terdahulu.

Pola pikirnya selalu bertumpu pada hasil ijtihad ulama’ terdahulu dalam menyelesaikan persoalan ketuhanan, kemanusiaan, dan kemasyarakatan pada umumnya. Kitab kuning menjadi rujukan pokok, dan sulit untuk keluar dari mazhab atau pemikiran keislaman yang terbentuk beberapa abad lalu. Model pemikiran ini lebih menonjolkan wataknya yang tradisional dan mazhabi. Watak tradisionalnya diwujudkan dalam bentuk sikap dan cara berfikir serta bertindak yang selalu berpegang teguh pada nilai-nilai, norma dan adat kebiasaan serta pola-pola pikir yang ada secara turun menurun dan tidak mudah terpengaruh oleh situasi sosio historis masyarakat yang sudah mengalami perubahan dan perkembangan sebagai akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan watak mazhabinya diwujudkan dalam bentuk kecenderungannya untuk mengikuti aliran, pemahaman atau doktrin, serta pola-pola pemikiran sebelumnya yang dianggap sudah relative mapan.

3. Modernis

Model pemikiran Islam modernis berupaya memahami ajaran-ajaran dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah dengan hanya semata-mata mempertimbangkan kondisi dan tantangan sosio-historis dan cultural yang dihadapi oleh masyarakat Muslim kontemporer, tanpa mempertimbangkan muatan-muatan khazanah intelektual muslim era klasik yang terkait dengan persoalan keagamaan dan kemasyarakatan. Model ini tidak sabar dalam menekuni dan mencermati pemikiran era klasik, malahan lebih bersikap potong kompas, yakni ingin langsung memasuki teknologi modern tanpa mempertimbangkan khazanah intelektual muslim dan bangunan budaya masyarakat muslim yang terbentuk berabad-abad. Obsesi pemikirannya adalah pemahaman langsung terhadap nash Al-Qur’an dan langsung loncat ke peradaban modern.

4. Neo Modernis

Kalangan Neo Modernis untuk memahami ajaran-ajaran dan nilai-nilai mendasar dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah harus berupaya mengikut sertakan dan mempertimbangkan khazanah intelektual muslim klasik serta mencermati kesulitan-kesulitan dan kemudahan-kemudahan yang ditawarkan oleh dunia teknologi modern. Jadi model ini selalu mempertimbangkan Al-Qur’an dan Al-Sunah, khazanah pemikiran Islam klasik, serta pendekatan-pendekatan keilmuan yang muncul pada abad ke 19 dan 20 M. Jargon yang sering dikumandangkan adalah: “ al-Muhafazah ‘ala al-Qadim al-Salih wa al-Akhzu bi al-Jadid al-Aslah”, yakni memelihara hal-hal yang baik yang telah ada sambil mengembangkan nilai-nilai baru yang lebih baik.


[1] Ibid. h 46

[2] Ibid. h. 50

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Laporan Aktualisasi Latsar: Peningkatan Kemampuan Membaca Al-Qur'an Kelas V SDN 006 Penarikan

Laporan Aktualisasi: Peningkatan Kemampuan Membaca Al-Qur'an Kelas V SDN 006 Penarikan, Kecamatan Langgam, Kabupaten Pelalawan, Riau ...