Teori dan Ayat Al-Qur'an tentang Organisasi dan Pengorganisasian

Inilah kajian tentang Teori dan Ayat Al-Qur'an tentang Organisasi dan Pengorganisasian. Disini kita dituntut untuk membahas satu persatu kemudian dikaitkan dengan ayat-ayat yang ada dalam al-Qur'an sebagai proses integrasi antara Islam dan Ilmu Pengetahuan.

Menurut buku Tesaurus Bahasa Indonesia, organisasi berarti badan, institusi, institut, lembaga, wadah. Bisa juga berarti formasi, jaringan, komposisi, konfigurasi, konstruksi, pola dan sistem. Sedangkan pengorganisasian berarti koordinasi, mobilisasi, pengaturan, pengelolaan, penyusunan dan sistematisasi.[1]





Kata organisasi bila merujuk kepada kamus besar bahasa Indonesia berarti kesatuan (susunan dsb) yg terdiri atas bagian-bagian (orang dsb) dl perkumpulan dsb untuk tujuan tertentu; atau kelompok kerja sama antara orang-orang yg diadakan untuk mencapai tujuan bersama;[2] Teori dan Ayat Al-Qur'an tentang Organisasi dan Pengorganisasian.

Istilah pengertian organisasi berasal dari kata organum, yang berarti alat, bagian atau komponen-komponen. Di dalam pendekatan manajemen, istilah organisasi mempunyai dua arti umum. Arti pertama mengacu pada suatu lembaga atau kelompok fungsional. Arti kedua mengacu pada proses pengorganisasian, yaitu cara pengaturan pekerjaan dan pengalokasian pekerjaan diantara anggota organisasi, sehingga organisasi diharapkan melaksanaakan fungsi penting untuk membantu ketidak mampuan anggota sebagai individu dalam rangka mencapai tujuan yang sulit atau bahkan tidak mungkin dicapai sendiri.[3]

Secara singkat, pengertian organisasi berarti suatu system kerja sama di antara sekelompok orang demi mencapai tujuan yang disepakati bersama.[4] Dari definisi ini, dapat kita ambil unsur-unsur yang ada dalam organisasi, yakni: adanya tujuan yang dirumuskan atau disepakati oleh anggota organisasi, adanya interaksi dan kerjasama dalam menyelenggarakan organisasi demi pencapaian tujuan.

ayat tentang organisasi sebagai berikut... Interaksi antar manusia sebenarnya tidak hanya terjadi dalam organisasi. Dalam kehidupan sehari-hari, setiap orang berinteraksi dengan lainya sehingga tujuanya tercapai. Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa penciptaan manusia yang beranekaragam ditujukan untuk saling mengenal, dan proses pengenalan membutuhkan sebuah interaksi sosial. Allah ta’ala berfirman:


Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal (Al-Hujuraat: 13)

pengertian Pengorganisasian atau organizing secara alamiah merupakan fase kedua (setelah planning) dari setiap sistem organisasi besar atau sekecil apapun. Dikatakan secara alamiah sebab fakta organizing tersebut secara logical ataupun factual berlaku dimanapun dan kapanpun walaupun dalam bentuk sederhana. Semua ini merupakan sistem penciptaan Allah Swt yang bersifat intangible (ada fakta sekalipun tidak bisa diraba). Kalaulah seandainya terdapat organisasi yang tidak menjalankan fungsi organizing (sekalipun terdapat planning yang komprehensif) maka tidak akan pernah berjalan atau berhasil secara optimal melainkan hanya unsur kebetulan.

Dalam hal pengorganisasian, keteraturan dan disiplin menjadi kata kunci bila ingin meraih kesuksesan. Keteraturan bisa dalam struktur yang berarti tertib dalam pembagian kewajiban dan hak, serta bila dalam proses berarti apa yang akan dilakukan telah disusun secara sistematis dan dapat diaplikasikan atau diwujudkan. Sedangkan disiplin merupakan unsur yang akan mendukung dan menjamin kesuksesan program yang telah teratur. Dalam hal ini Allah swt berfirman dala Al Qur’an surat ash-Shaff ayat 4, merupakan ayat lain tentang pengorganisasian atau organizing:

Artinya: Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.

Ayat pengorganisasian diibaratkan sebagai shaff yang lurus. Dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur`an, disebutkan bahwa berjihad di jalan Allah harus dalam suatu shaff atau barisan. As-shaff berarti posisi yang kokoh, bertahan kuat dan teratur. Seseorang tidak akan bisa berjalan dengan sendirinya secara individual, melainkan ia harus berada dalam koridor jama’ah. Islam tidak mungkin berdiri melainkan dalam jaringan jama’ah yang terorganisasi rapi dan terikat dengan kokoh, memiliki sistem dan memiliki sasaran jama’ah yang bergantung dalam waktu yang bersamaan kepada setiap individu didalamnya.[5] Barisan kokoh inilah yang akan menjadi landasan utama sebuah organisasi disertai dengan keteraturan dan kekokohan individu didaalamnya. Selain itu haruslah tertanam ruh Islam sehingga apa yang dilakukan merupakan ibadah sebagaimana maksud Allah menciptakan manusia dimuka bumi ini.

Pengorganisasian berarti aplikasi dari planing yang telah ditetapkan sebelumnya. Agar pengorganisasian berlangsung lancar, maka diperlukan langkah-langkah yang teratur. Secara garis besar langkah-langkah melakukan proses pengorganisaiaan adalah sebagai berikut[6] :

  • Merinci seluruh pekerjaan yang harus dilaksanakan organisasi agar sesuai dengan visi dan misinya.

  • Membagi beban kerja ke dalam aktivitas yang secara logis dan memadai dapat dilakukan oleh seseorang atau oleh sekelompok orang.

  • Mengkombinasikan pekerjaan anggota organisasi dengan cara logis dan efisien

  • Menetapkan mekanisme untuk mengkoordinasikan pekerjaan anggota organisasi dalam satu kesatuan yang harmonis.

  • Memantau efektivitas organisasi dan mengambil langkah-langkah penyesuaian untuk mempertahankan atau meningkatkan efektivitas.

Asas organisasi merupakan berbagai pedoman yang secara maksimal hendaknya dilaksanakan agar diperoleh satu struktur organisasi yang baik. Ada 9 faktor yang mempengaruhi rincian asas organisasi, yaitu: perumusan tujuan organisasi, departemenisaisi, pembagian kerja,koordinasi,pelimpahan wewenang, rentang kendali, jenjang organisasi, kesatuan perintah, dan fleksibilitas.

Langkah pertama dalam pengorganisasian diwujudkan melalui perencanaan dengan menetapkan bidang-bidang atau fungsi-fungsi yang termasuk ruang lingkup kegiatan yang akan diselenggarakan oleh suatu kelompok kerjasama tertentu. Keseluruhan pembidangan itu sebagai suatu kesatuan merupakan total sistem yang bergerak ke arah satu tujuan. Dengan demikian, setiap pembidangan kerja dapat ditempatkan sebagai sub sistem yang mengemban sejumlah tugas yang sejenis sebagai bagian dari keseluruhan kegiatan yang diemban oleh kelompok-kelompok kerjasama tersebut.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam proses pengorganisasian yaitu: 1) perlunya musyawarah dalam pembagian kerja sehingga setiap bagian dapat melaksanakan programnya dengan baik, dan 2) perlunya keteraturan dalam perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi program kerja.

[1] Eko Endarmoko, Tesaurus bahasa Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), hal. 438

[2] Indonesia. Departemen Pendidikan Nasional, Pusat Bahasa (Indonesia), Kamus besar bahasa Indonesia Pusat Bahasa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008)

[3] Husein Umar, Business an Introduction, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal. 58

[4] Suparjati, dkk,Tata Usaha dan Kearsipan, (Yogyakarta: Kanisius,2000 ), hal.1

[5] Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil-Qur'an Jilid 11, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), hal. 252

[6] Op. Cit., Husein Umar, Business an Introduction... hal. 60

Isi Pendahuluan dalam Penelitian Kualitatif


Pendahuluan adalah awal, dan inilah isi pendahuluan dalam Penelitian Kualitatif. Dalam pendahuluan atau BAB I Tesis, setidaknya memuat tiga aspek penting yaitu: Dassolen, dassein, dan alternatif. Berikut kami jabarkan sedikit dan lugas tentang apa yang dimaksudkan dengan hal-hal diatas.

Dassolen berarti apa yang seharusnya, yang ideal dan bersifat teoritik. Dalam hal ini peneliti harus mendefinisikan variabel yang ada kemudian menghubungkan antara satu dengan lainya. Hubungan tersebut membentuk suatu keadaan yang ideal, sempurna dan masih bersifat dalam ranah teoritik.

Dassein, berisi stigma negatif atas teori diatas yang sempurna. Anomali yaitu penyimpangan atau keanehan yang terjadi atau dengan kata lain tidak seperti biasanya. Hal ini berdasarkan data penelitian, bersifat lapangan dan nyata. Sumbernya bisa penelitian sebelumnya, survey, atau laporan penelitian.

Selanjutnya adalah alternatif, berisi gambaran tentang situs yang diteliti. Dengan mendebat sisi dassein yang berstigma negatif, bagian ini berusaha menggambarkan sisi-sisi keunggulan, hal yang menarik, unik dan berbeda dengan situs lainya dari situs yang akan diteliti. Bagian ini juga yang menjadi jawaban atas pertanyaan, “Mengapa anda memilih situs ini untuk penelitian?”

*Catatan Kuliah Seminar Proposal Tesis bersama Dr. H. Munirul Abidin, M.Ag, MPI A, Gedung A Uin Maliki, 28/10/2014

Landasan Filosofis Ilmu Pengetahuan

Landasan Filosofis Ilmu Pengetahuan. penulis akan mencoba memaparkan review salah satu tulisan yang dimuat dalam jurnal Tsaqafah, Institut Studi Islam Darussalam (ISID), Pondok Gontor, Volume 8, tahun 2012. Tulisan ini berjudul, “Problem Keilmuan Kontemporer dan Pengaruhnya terhadap Dunia Pendidikan”, dengan penulisnya adalah Mohammad Muslih.


Dari proses analisa terhadap tulisan dalam jurnal ini, penulis menemukan poin penting yang melandasi tulisan tersebut. Proses dan hasil keilmuan pada jenis ilmu apapun, ternyata sangat ditentukan oleh landasan filosofis yang mendasarinya, yang memang berfungsi memberikan kerangka, mengarahkan, menentukan corak dari keilmuan yang dihasilkanya. Landasan filosofis yang dimaksud adalah asumsi dasar, paradigma keilmuan dan kerangka teori (Theoritical Framework). Ketiga inilah yang lazim disebut sebagai filsafat ilmu atau filsafat keilmuan. Kerja ketiga landasan filosofis ini, memang tidak serta merta bisa ditunjukkan dalam wilayah praktis, namun jelas sangat menentukan corak ilmu yang dihasilkan. Dalam sejarah perkembangan ilmu, ketiga hal ini memiliki keterkaitan tidak saja historis namun juga sistematis. Disebut demikian, karena suatu paradigma tertentu lahir berdasarkan asumsi dasa tertentu, begitupula teori tertentu bekerja tidak keluar dari wilayah paradigmanya. Dengan demikian bisa dikatakan, hubungan ketiganya mengambil bentuk kerucut, dalam arti mulai dari yang umum ke yang lebih khusus.[1]


Dari bagan segitiga disamping dapat dilihat bahwa ilmu-ilmu lahir dari atau sangat ditentukan oleh kerangka teori (Theoritical Framework) yang mendasarinya, yang wilayahnya lebih umum (baca: lebih abstrak dan filosofis. Sementara kerangka teori lahir dari paradigma tertentu yang sifatnya juga lebih umum, begitupula paradigma tertentu juga lahir dari/berdasarkan asumsi-asumsi yang mendasarinya.

Asumsi dasar proses keilmuan diidentifikasi oleh filsafat ilmu menjadi beberapa aliran pemikiran, yang meliputi: rasionalisme[2], empirisme[3], kritisme dan intuisionisme[4], sementara paradigma keilmuan (dalam tradisi sains) meliputi: positivisme[5], post-positivisme[6], konstruktivisme[7] dan teori kritis (critical theory). Masing-masing paraadigma tersebut bisa mencakup beberapa kerangka teori, yang ssecara serius dibangun dan ditawarkan oleh seorang ilmuwan atau kelompok ilmuwan tertentu.


Dari sini bisa dipahami, jika beberapa ilmu kemudian dapat diklasifikasikan menurut kesamaan karakteristiknya, yakni atas dasar kesamaan teori atau paradigmanya. Misalnya seperti apa yang dilakukan Habermas, sebagaimana telah diuraikan diatas.

Menurut hakikat dan sebab-musabab keberadaannya, Filsafat Ilmu Pengetahuan merupakan  sublimasi atau intisari dan berfungsi sebagai pengendali moral  daripada pluralitas keberadaan ilmu pengetahuan. Hal ini berarti keberadaan Filsafat Ilmu Pengetahuan berfungsi sebagai bidang studi filsafat praktis dan bersifat normatif . Dengan keberadaannya dalam konteks pluralitas ilmu pengetahuan itu, maka Filsafat Ilmu Pengetahuan berkepentingnan pada nilai kebenaran ilmiah dan kegunaannya. Kedua nilai ini dibangun dalam satu kesatuan sistem, sehingga keberadaan  pluralitas ilmu pengetahuan tetap terikat dalam sikap (pandang) ilmiah yang bersifat interdisipliner dan multidisipliner. Sedemikian rupa sehingga jalan dan metode pemberdayaan ilmu pengetahuan dan teknologi secara pragmatis bagi kelangsungan kehidupan yang berkeadilan menjadi jelas dan tepat.[8]

Ilmu sekadar  merupakan pengetahuan yang mempunyai kegunaan praktis yang dapat membantu kehidupan manusia secara pragmatis.[9]Dari bagan di atas bisa dilihat bahwa ilmu-ilmu lahir dari atau sangat ditentukan oleh kerangka teori (theoretical framework) yang mendasarinya, yang “wilayahnya” lebih umum, sementara kerangka teori lahir dari paradigma tertentu yang sifatnya juga lebih umum, begitu pula paradigma tertentu juga lahir dari/berdasarkan asumsi yang mendasarinya.[10]

[1] Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu, Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta: Belukar: 2004), hlm.40

[2] Rasionalisme atau gerakan rasionalis adalah doktrin filsafat yang menyatakan bahwa kebenaran haruslah ditentukan melalui pembuktian, logika, dan analisis yang berdasarkan fakta, daripada melalui iman, dogma, atau ajaran agama. Rasionalisme mempunyai kemiripan dari segi ideologi dan tujuan dengan humanisme dan atheisme, dalam hal bahwa mereka bertujuan untuk menyediakan sebuah wahana bagi diskursus sosial dan filsafat di luar kepercayaan keagamaan atau takhayul.

[3] Empirisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang menyatakan bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman manusia. Empirisme menolak anggapan bahwa manusia telah membawa fitrah pengetahuan dalam dirinya ketika dilahirkan. Empirisme lahir di Inggris dengan tiga eksponennya adalah David Hume, George Berkeley dan John Locke.

[4] Suatu anggapan bahwa ilmu pengetahuan dapat dicapai dengan pemahaman langsung; berlawanan dengan proses pemikiran yang sadar atau persepsi yang langsung; anggapan bahwa kewajiban moral tidak dapat disimpulkan sendiri 9tanpa pertolongan Tuhan). Lihat: Pius A Partanto, M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiyah Populer, (Surabaya, Arloka: 1994)

[5] Anggapan bahwa yang berarti itu hanya proposisi analitik yang dapat dibuktikan kebenaranya secara empiris.

[6] Post Positivisme lawan dari positivisme: cara berpikir yg subjektif Asumsi terhadap realitas. Kebenaran subjektif dan tergantung pada konteks value, kultur, tradisi, kebiasaan, dan keyakinan.

[7] Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan  dan menjadi lebih dinamis.

[8] Suparlan Suhartono, Ph.D, Filsafat Ilmu pengetahuan (Jogjakarta, ar-Ruzz Media: 2005), hlm.35

[9] Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu sebuah pengantar populer (Jakarta, Pustaka sinar harapan: 1996), hlm.72

[10] Op.Cit, Muslih, hlm. 40

Pengertian Mutu Pendidikan

Untuk mendefinisikan pengertian mutu pendidikan, harus dipahami arti dari masing-masing kata dari mutu dan pendidikan. mutu  adalah kesesuaian produk/layanan dengan persyaratan yang ditetapkan konsumen. Mears (1993) mendefinisikan mutu  sebagai suatu sistem yang dilaksanakan dalam jangka panjang dan terus menerus untuk memuaskan konsumen dengan meningkatkan kualitas produk perusahaan atau yang lainnya dalam bahasa yang seragam, disesuaikan dengan perubahan yang menyangkut kebutuhan, keinginan dan selera konsumen.[1]



Mutu pendidikan  merupakan suatu konsep manajemen pendidikan yang berusaha untuk merespons secara tepat terhadap setiap perubahan yang ada, baik yang didorong Oleh kekuatan eksternal maupun internal. Mutu lebih berfokus pada tujuan perusahaan atau pendidikan  untuk melayani kebutuhan pelanggan atau siswa  dengan memasok barang dan jasa yang memiliki kualitas setinggi mungkin.

Ada beberapa  karakteristik yang tercakup dalam unsur-unsur mutu, yang meliputi:

  1. Fokus pada pelanggan eksternal dan internal

  2. Memiliki obsesi tinggi terhadap kualitas

  3. Pendekatan ilmiah dalam pengambilan keputusan dan pemecahan masalah

  4. Adanya komitmen jangka panjang

  5. Kerja sama tim

  6. Adanya keterlibatan dan pemberdayaan pengelola pendidikan karyawan

  7. Perbaikan proses secara berkesinambungan

  8. Adanya pendidikan dan pelatihan pengelola pendi karyawan yang bersifat bottom-up

  9. Adanya kebebasan yang terkendali
[1] Nursya’ Bani Purnama. Manajemen Kualitas Prespektif Global, (Yogyakarta: Ekonisia, 2006), hlm. 51

Ruang Lingkup Materi Pendidikan Agama Islam (PAI)

Ruang lingkup materi PAI di dalam kurikulum 1994 sebagaimana dikutip oleh Muhaimin pada dasarnya mencakup tujuh unsur pokok, yaitu: Al-Qur’an-Hadist, keimanan, syari’ah, ibadah, muamalah, akhlak, dan tarikh. Pada kurikulum tahun 1999 dipadatkan menjadi lima unsur pokok, yaitu: Al-Qur’an, keimanan, akhlak, fikih dan bimbingan ibadah serta tarikh yang lebih menekankan pada perkembangan ajaran agama, ilmu pengetahuan dan kebudayaan.

Mata pelajaran Pendidikan Agama Islam itu secara keseluruhannya dalam  lingkup: Al-Qur'an  dan al-hadis, keimanan, akhlak, fiqih / ibadah, dan sejarah, sekaligus menggambarkan bahwa ruang lingkup pendidikan agama Islam mencakup perwujudan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan hubungan manusia dengan Allah SWT, diri sendiri, sesama manusia, makhluk lainnya maupun lingkungannya.[1]



Unsur-unsur pokok materi kurikulum PAI yang tersebut di atas masih terkesan bersifat umum dan luas. Perlu ditata kembali menurut kemampuan siswa dan jenjang pendidikannya. Dalam arti, kemampuan-kemampuan apa yang diharapkan dari lulusan jenjang pendidikan tertentu sebagai hasil dari pembelajaran PAI.

Dalam GBPP mata pelajaran PAI kurikulum 1994 sebagaimana dikuti oleh Muhaimin, dijelaskan bahwa pada jenjang Pendidikan Menengah, kemampuan-kemampuan dasar yang diharapkan dari lulusannya adalah dengan landasan iman yang benar, siswa:
  1. Taat beribadah, mampu berdzikir dan berdo’a serta mampu menjadi imam; anak pada usia SMA dapat menjalankan rukun Islam, terutama sahadat, salat, zakat, dan puasa. Anak diharapkan juga mampu mengagungkan asma Allah, serta mampu memimpin salat.

  2. Mampu membaca Al-qur’an dan menulisnya dengan benar serta berusaha memahami kandungan maknanya terutama yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama yang relevan dengan apa yang diketahui di lingkungan sekitarnya.

  3. Memiliki kepribadian muslim, artinya di dalam diri anak selalu terpancar kesalehan pribadi dengan selalu menampakkan kebajikan yang patut dipertahankan dan diteladani untuk ukuran sebaya.

  4. Memahami, menghayati dan mengambil manfaat sejarah dan perkembangan agama Islam, dalam hal ini disesuaikan dengan kemampuannya.

  5. Mampu menerapkan prinsip-prinsip muamalah dan syari’at Islam dengan baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, dalam arti mampu menerapkan hubungan sesama makhluk dengan memperhatikan hukum Islam dan pengetahuan tentang agama Islam yang memiliki anak usia SMA.[2]
Agar kemampuan-kemampuan lulusan atau out put yang diharapkan itu bisa tercapai, maka tugas Guru pendidikan agama Islam adalah berusaha secara sadar untuk membimbing, mengajar, dan melatih siswa sebagai siswa agar dapat: (1) meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT yang telah ditanamkan dalam lingkungan keluarga; (2) menyalurkan bakat dan minatnya dalam mendalami bidang agama serta mengembangkannya secara optimal, sehingga dapat dimanfaatkan untuk dirinya sendiri dan dapat pula bermanfaat bagi orang lain; (3) memperbaiki kesalahan-kesalahan, kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahannya dalam keyakinan, pemahaman dan pengamalan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari; (4) menangkal dan mencegah pengaruh negatif dari kepercayaan, paham atau budaya lain yang membahayakan dan menghambat perkembangan keyakinan siswa; (5) menyesuaikan diri dengan lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial yang sesuai dengan ajaran Islam; (6) menjadikan ajaran Islam sebagai pedoman hidup untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat; dan (7) mampu memahami, mengilmui pengetahuan agama Islam secara menyeluruh sesuai dengan daya serap siswa dan keterbatasan waktu yang tersedia.[3]

[1]Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi, Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004 (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2004), hal. 131.

[2]Muhaimin, dkk. Paradigma Pendidikan  Islam, Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam  Di Sekolah.......,hal. 81.

[3]Ibid., hal. 83.

Laporan Aktualisasi Latsar: Peningkatan Kemampuan Membaca Al-Qur'an Kelas V SDN 006 Penarikan

Laporan Aktualisasi: Peningkatan Kemampuan Membaca Al-Qur'an Kelas V SDN 006 Penarikan, Kecamatan Langgam, Kabupaten Pelalawan, Riau ...