Usaha men-Definisikan Filsafat Pendidikan
Menurut Al-Syaibany, filsafat pendidikan adalah aktivitas pikiran yang teratur yang menjadikan filsafat sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan, dan memadukan proses pendidikan.[1] Menurut John Dewey, filsafat pendidikan merupakan suatu pembentukan kemampuan dasar yang fundamental, baik yang menyangkut daya pikir (intelektual) maupun daya perasaan (emosional), menuju ke arah tabi’at manusia, maka filsafat bisa juga diartikan sebagai teori umum pendidikan. Barnadib (1993 : 3) mempunyai versi pengertian atas filsafat pendidikan, yakni ilmu yang pada hakikatnya merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dalam bidang pendidikan. Menurut seorang ahli filsafat Amerika Brubachen , filsafat pendidikan adalah seperti menaruh sebuah kereta di depan seekor kuda, dan filsafat dipandang sebagai bunga, bukan sebagai akar tunggal pendidikan.[2]
Dalam pengertian ini, pengungkapan bahwa filsafat pendidikan adalah filsafat terapan, yaitu hasil ketika cara pandang filsafat masuk dan mengambil objek pendidikan, menjadi pandangan yang keliru, terutama jika ia dilihat secara geneologis, terutama karena hal itu melahirkan kesan makna bahwa pendidikan adalah sesuatu hal yang sepenuhnya terpisah dari filsafat atau ia berada di luar filsafat. Oleh karena itu, jika filsafat pendidikan kita konsesi mesti didefinisikan sebagai filsafat terapan, dasar pijakan bersifat metodis di satu sisi. Sedangkan, di sisi yang lain, ia menegaskan bahwa pendidikan adalah sesuatu hal yang dipandang sebagai bidang yang sepenuhnya bukan filsafat atau di luar filsafat.
Dalam pengkritisan tersebut, istilah “filsafat pendidikan” selalu menjadi hal yang hanya bisa diterima dalam pengandaian metodis guna menunjuk upaya-upaya cara pandang filsafat untuk mengkaji ruang pendidikan atau tepatnya ruang upaya menusia secara umum di dalam membangun hidup dan kehidupannya untuk menjadi semakin baik dan berkualitas.
Pengandaian metodis ini terpahami terutama kerena proses pelaksanaan upaya manusia secara umum di dalam membangun hidup dan kehidupannya untuk menjadi semakin baik dan berkualitas lebih sering berlangsung jauh dari nilai-nilai ideal yang diharapkan. Dalam berbagai kasus, upaya tersebut justru bermakna sebaliknya, yaitu semakin menjauhkan hidup manusia, baik secara individu ataupun kolektif dari tata hidup dan kehidupan yang baik dan berkualitas.
Dalam rialitas lapangan, ironi-ironi kontraproduktif tersebut menjadi dengan begitu sangat nyata sehingga ia bahkan tidak lagi membutuhkan argumentasi apa pun untuk membuktikannya. Penyelenggaraan pendidikan menjadi penyebab utama dari lahirnya dehumanisasi. Secara ideal, pendidikan ingin membuat manusia menjadi bermoral. Akan tetapi, dalam praktiknya, pendidikan terisi dan berlangsung dengan cara-cara yang justru bertentangan dengan nilai-nilai moral yang dicita-citakan.
Dalam konteks problem seperti inilah dunia modern kemudian mengenal istilah “filsafat pendidikan”, yaitu filsafat yang secara seksama bermaksud melihat tentang apa, mengapa, dan bagaimana pendidikan dalam pengertian-pengertian lebih mendasar dan genuine sehingga proses penyelenggaraan pendidikan yang ada di lapangan dapat kembali menemukan makna urgensitasnya dalam hidup yang ada.
Hingga di sini, secara definitif, filsafat pendidikan tidak lain adalah penerapan upaya metodis filsafat untuk mempersoalkan konsepsi-konsepsi yang melandasi upaya-upaya manusia di dalam membangun hidup dan kehidupannya untuk menjadi semakin baik dan berkualitas. Sedangkan, tujuan upaya-upaya filsafat dalam mempersoalkan adalah guna mengarahkan menyelenggarakan pendidikan pada kondisi-kondisi etika yang diedialkan. Dalam makana lain, filsafat pendidikan adalah falsifikasi pendidikan, baik dalam makan teoritis konseptual maupun makna praktis-pragmatis yang menggejala. [imtaq.com]
[2] Prof. Dr. H. Jalaluddin, Filsafat Pendidikan, Manusia, Filsafat dan Pendidikan (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2010) hlm. 20
Tidak ada komentar:
Posting Komentar