Pengaruh Agama Islam pada Logika/ Mantiq
Bagian Kedua dari 3 artikel
Pada abad ke-7 Masehi berkembanglah agama islam di jazirah Arab dan pada abad ke-8, agama ini telah dipeluk secara meluas ke Barat sampai perbatasan Perancis sampai Thian Shan. Dizaman kekuasaan khalifah Abbasiyyah sedemikian banyaknya karya-karya ilmiah Yunani dan lainnya diterjemahkan ke dalam bahasa, sehingga ada suatu masa dalam sejarah islam yang dijuluki dengan Abad Terjemahan. Logika karya Aristoteles juga diterjemahkan dan diberi nama Ilmu Mantiq.
Tokoh logika fenomenal zaman Islam adalah Al-Farabi (873-950 M) yang terkenal mahir dalam bahasa Grik Tua (Yunani kuno), menyalin seluruh karya tulis Aristoteles dalam berbagai bidang ilmu dan karya tulis ahli-ahli pikir Grik lainnya. Al-Farabi menyalin dan memberi komentar atas tujuh bagian logika dan menambahkan satu bagian baru sehingga menjadi delapan bagian.
Al-Farabi muda belajar ilmu-ilmu Islam dan musik di Bukhara, dan tinggal di Kazakhstan sampai umur 50. Ia pergi ke Baghdad untuk menuntut ilmu di sana selama 20 tahun. Setelah kurang lebih 10 tahun tinggal di Baghdad, yaitu kira-kira pada tahun 920 M, Al-Farabi kemudian mengembara di kota Harran yang terletak di utara Syria, dimana saat itu Harran merupakan pusat kebudayaan Yunani di Asia kecil. Ia kemudian belajar filsafat dari Yuhana bin Jilad.[1]
Tahun 940 M, Al-Farabi melajutkan pengembaraannya ke Damaskus dan bertemu dengan Sayf Al-Dawla al Hamdanid, Kepala daerah (distrik) Aleppo, yang dikenal sebagai simpatisan para Imam Syi’ah. Kemudian al-Farabi wafat di kota Damaskus pada usia 80 tahun (Rajab 339 H/ Desember 950 M) di masa pemerintahan Khalifah Al Muthi’ (masih dinasti Abbasiyyah).
Al-Farabi adalah seorang komentator filsafat Yunani yang ulung di dunia Islam. Meskipun kemungkinan besar ia tidak bisa berbahasa Yunani, ia mengenal para filsuf Yunani; Plato, Aristoteles dan Plotinus dengan baik. Kontribusinya terletak di berbagai bidang seperti matematika, filosofi, pengobatan, bahkan musik. Al-Farabi telah menulis berbagai buku tentang sosiologi dan sebuah buku penting dalam bidang musik, Kitab Al-Musiqa. Selain itu, ia juga dapat memainkan dan telah menciptakan bebagai alat musik.
Al-Farabi dikenal dengan sebutan "guru kedua" setelah Aristoteles, karena kemampuannya dalam memahami Aristoteles yang dikenal sebagai guru pertama dalam ilmu filsafat. Dia adalah filsuf Islam pertama yang berupaya menghadapkan, mempertalikan dan sejauh mungkin menyelaraskan filsafat politik Yunani klasik dengan Islam serta berupaya membuatnya bisa dimengerti di dalam konteks agama-agama wahyu.[2]
Karya al-Farabi tentang logika menyangkut bagian-bagian berbeda dari karya Aristoteles Organon, baik dalam bentuk komentar maupun ulasan panjang. Kebanyakan tulisan ini masih berupa naskah; dan sebagain besar naskah-naskah ini belum ditemukan. Sedang karya dalam kelompok kedua menyangkut berbagai cabang pengetahuan filsafat, fisika, matematika dan politik. Kebanyakan pemikiran yang dikembangkan oleh al-Farabi sangat berafiliasi dengan system pemikiran Hellenik berdasarkan Plato dan Aristoteles.[3] Diantara judul karya al-Farabi yang terkenal adalah:
- 1. Maqalah fi Aghradhi ma Ba’ da al-Thabi’ ah
- 2. Ihsha’ al-Ulum
- 3. Kitab Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah
- 4. Kitab Tahshil al-Sa’ adah
- 5. ‘ U’ yun al-Masa’ il
- 6. Risalah fi al-Aql
- 7. Kitab al-Jami’ bain Ra’ y al-Hakimain : al-Aflatun wa Aristhu
- 8. Risalah fi Masail Mutafariqah
- 9. Al-Ta’ liqat
10. Risalah fi Itsbat al-Mufaraqat[4]
Tokoh lain cendikiawan muslim yang terkenal mendalami, menerjemah dan mengarang di bidang ilmu Mantiq adalah Abdullah bin Muqaffa’, ya’kub Ishaq Al-Kindi, Abu Nasr Al-farabi, Ibnu Sina, Abu Hamid Al-Gahzali, Ibnu Rusyd, Al-Qurthubi dan banyak lagi yang lain.
Logika pada perkembanganya kemudian sempat mengalami masa dekadensi yang panjang. Logika bahkan dianggap sudah tidak bernilai dan dangkal sekali, barulah pada abad ke XIII sampai dengan Abad XV tampil beberapa tokoh lain seperti Petrus Hispanus, Roger Bacon, Raymundus Lullus dan Wilhelm Ocham yang coba mengangkat kembali ilmu logika sebagai salah satu ilmu yang penting untuk disejajarkan dengan ilmu-ilmu penting lainnya.
[1] Sirajuddin, “Filsafat Islam”, Grafindo Persada, 2004 Jakarta
[2] Ibid.
[3] Madkour, Ibrahim, Al-Farabi, Islamic Cairo University, 1934. Mesir
[4] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Gaya Media Pratama, 2001, Jakarta
saya me idolakan aklfarabi ... tahak ya atikel nya
BalasHapusIlmu logika adalah ilmu tentang tata cara berfikir sistematis-matematis yang murni yaitu tata cara berfikir yang tidak bergantung pada tangkapan langsung dunia panca indera.akal adalah alat berfikir sistematis - matematis yang dimiliki oleh manusia,sebab itu ada hubungan paralel antara akal dan ilmu logika artinya ilmu logika tidak akan pernah ada kalau manusia tidak memiliki akal.bila agama ditela'ah dengan logika murni maka kebenarannya akan terungkap secara konstruktif.
BalasHapusTetapi dalam wacana filsafat - sains kini istilah 'akal','logika' dan 'rasional' selalu dihubungkan dengan fakta - bukti empirik yang tertangkap mata sehingga yang 'rasional' makna pengertiannya malah menjadi 'yang mata telanjang bisa menangkapnya secara langsung'.sehingga yang tidak memiliki bukti empirik yang langsung tertangkap mata sering dikategorikan sebagai 'irrasional',sebagai contoh : konsep sorga dan neraka sering didefinisikan sebagai 'irrasional' hanya karena tidak bisa dibuktikan oleh bukti empirik yang tertangkap mata secara langsung.dan istilah 'akal' sering dipertentangkan dengan agama karena agama mendeskripsikan hal hal yang abstrak yang dianggap 'tidak masuk akal'
Dan ini (pandangan yang datang dari dunia filsafat-sains itu) adalah penyimpangan terhadap konsep ilmu logika,sebab konsep ilmu logika adalah tatacara berfikir sistematis yang murni tidak bergantung sepenuhnya pada tangkapan dunia indera secara langsung. sebagai contoh : konsep sorga dan neraka adalah konsep yang rasional sebab bisa dihubungkan secara sistematis dengan keberadaan adanya kebaikan dan kejahatan didunia.dan coba pakai perbandingan terbalik:bila sorga dan neraka itu tidak ada maka si baik dan si jahat hidupnya hanya akan berakhir dikuburan dan bila demikian kehidupan menjadi ganjil dalam arti tidak rasional.contoh lain : atheis sering memproklamirkan ideologinya berdasar prinsip 'rasional',padahal bila di analisis berpandangan atheistik sama dengan beranggapan bahwa segala keteraturan itu berasal dari 'kebetulan' padahal menurut logika akal segala keberaturan yang tertata secara sistematis itu hanya bisa berasal dari desainer dan mustahil datang dari kebetulan.sebab kebetulan mustahil melahirkan keteraturan (coba saja seluruh saintis melakukan eksperimen : apakah dari kebetulan bisa melahirkan keteraturan (?).
agama berisi konsep rasional bila manusia tidak melekatkan olah fikir akalnya selalu secara langung dengan bukti dunia inderawi.atau tidak mengebiri akalnya dengan keterbatasan dunia indera nya.sebab indera adalah hamba atau pembantu akal dan bukan sebaliknya.tapi filosof - saintis atheistik materialistik menjadikan dunia indera sebagai 'raja' dan 'ukuran kebenaran' sehingga yang tidak terbukti secara empirik sering ditolak sebagai kebenaran.