PENDIDIKAN PONDOK dalam buku Khutbatul Arsy Gontor

Dalam PENDIDIKAN PONDOK dalam buku Khutbatul Arsy Gontor, Ajaran atau didikan yang utama di dalam pondok pesantren adalah (الإعتمادعلى النفس) dalam bahasa lain self help, artinya tidak menggantungkan diri kepada orang lain. Dengan kata lain belajar mencukupi kebutuhan sendiri atau menolong diri sendiri.


Pemuda-pemuda yang terdidik menolong diri sendiri, dapat menghadapi masa depan dengan penuh harapan, jalan hidup terbentang luas di mukanya. Sebaliknya, pemuda yang tidak percaya kepada dirinnya, dia senantiasa was-was dan ragu-ragu, serta tidak akan mendapat kepercayan dari masyrakat, bahkan dia sendiri tidak percaya pada dirinya.

Pondok adalah tempat berlatih agar menjadi orang yang suka pandai menolong, bukan hanya yang selalu mminta tolong.

Maka dari itu, disini dilatih mengurus diri sendiri, pegang keuangan sendiri, cuci baju sendiri, tanggung jawab kamar dan alat-alatnya sendiri.

Dengan didikan yang beginilah, maka para ahli pendidikan yang terkemuka, seperti Dr.Sutomo dan Dr.Kihajar Dewantara, sangat mementingkan pendidikan pondok. Dan inipulalah yang ditanakan oleh bapak-bapak kita kepada kita sekalian, agar kita dapat menjadi orang yang dapat menolong diri sendiri, bukan selalu menggantungkan pada orang lain.

Selain dari itu, pondok juga berisi didikan kebebasan.

Tetapi pondok-pondok pada zaman dahulu terlalu bebas, sehingga tidak ada pengawasan atau peringatan. Dengan demikian akhirnya santri-santri itu terlalu bebas.

Dengan tidak adanya pengawasan, belajarnyapun seenaknya pula, sehingga waktu yang terpakai tidak seimbang dengan ilmu yang didapat. Dan memang pemuda kita belum boleh terus diberi kebebasan yang terlalu luas.

Sebaliknya, Internaat.

Internaat atau asrama di zaman penjajahan terlalu terikat, tidak bebas, sehingga segala gerak geriknya harus menanti perintah. Makan saja harus menanti perintah, begitu juga mandi menanti perintah.

Akhirnya pemuda yang begini ini, hidupnya terbiasa diperintah oleh orang lain, hanya selalu menanti perintah.

Sekeluarnya dari sekolah itu, ia akan menjadi pegawai dalam artian alat yang mati, tidak dinamis, tidak ada inisiatif. Jiwanya tidak hidup, tidak ada semangat, hanya selalu menjadi alat orang lain, tidak bekerja kalau tidak ada perintah.

BUKAN INTERNAAT atau INDEKOST

Pondok Modern Gontor dibuat pertengahan, tidak terlalu bebas dan tidak terlalu sempit. Jadi para siswa masih mendapat kebebasan seluas mungkin, dalam batasan-batasan yang tidak membahayakan pendidikan dan ada disiplin antara para siswa sendiri, yang dijalankan dengan penuh kesadaran, meski untuk membiasakan kadang perlu keterpaksaan.

Apel Tahunan Pekan Perkenalan Khutbatu-l Arsy Gontor

Apel Tahunan Pekan Perkenalan Khutbatu-l Arsy

Pondok Moder Darussalam Gontor


Ahad pagi 24 Oktober 2010, Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo melaksanakan Apel Tahunan Pekan Perkenalan Khutbatu-l Arsy. Seperti biasa, Apel Tahunan ini dilaksanakan di Lapangan Hijau Pondok Modern Darussalam Gontor.

Sekitar pukul 06.30 pagi, para santri dan guru sudah mulai berdatangan ke Lapangan Hijau tempat diadakanya acara apel tahunan. Tepat pukul 07.00 pagi, acara dimulai.

Tertib acara dimulai dengan persiapan pasukan, amanat dari pimpinan pondok dan kemudian penampilan-penampilan dari MBGND (Marching Band Gema Nada Darussalam) kemudian disusul dengan penampilan Reog Ponorogo, ondel-ondel, singa depok dan tarian nusantara.

Tampil menjadi pimpinan upacara adalah KH. Dr. Abdullah Syukri Zarkasyi M.A. beliau menyampaikan jumlah santri serta arahan dan bimbingan dalam mengemban amanat pondok. Diantaranya adalah perlunya pemahaman dan dipertahankanya sistem dan nilai pondok.

Setelah amanat dari pimpinan upacara, dilanjutkan dengan parade barisan dari unit-unit usaha pondok. Unit usaha seperti UKK, KUK, La-Tansa Store, Suargo Fm dan lain sebagainya. Ditampilkan pula parade sepeda motor bagian-bagian pondok. Kemudian parade dari bagian OPPM, yang paling mencolok adalah sepeda unik dari bagian ketrampilan dan mobil pengangkut sampah grandong dari bagian bersih lingkungan.

Setelahnya, barulah barisan tiap-tiap konsulat melaju dan berkeliling ke sekitar pondok. Barisan konsulat bukan hanya parade, tapi juga lomba. Konsulat yang terbaik akan dibacakan dalam acara Kuliah Umum Kepondokmodernan di BPPM (Balai Pertemuan Pondok Modern).

Latihan Baris-berbaris ala Mahasiswa ISID Siman

Latihan Baris-berbaris ala Mahasiswa ISID Siman

Menghadapi acara Khutbatu-l Arsy Pondok Modern Darussalam Gontor, para santri dan mahasiswa berlatih baris-berbaris. Latihan berbaris atau disingkat LKBB Latihan/lomba kekompakan baris berbaris menjadi pemersatu diantara mahasiswa.



Biasanya, kalau masih santri di Gotor, latihan baris-berbaris diadakan siang hari namun berbeda dengan mahasiswa yang latihanya pada malah hari. Hal ini karena siang hari panas dan beberapa teman mahasiswa mempunyai beragam kegiatan.

Latihan baris-berbaris mahasiswa ISID dilakukan setelah sholat Isya’ selama dua hari berturut-turut sebelum acara Khutbatu-l Arsy. Mahasiswa yang berlatih dari semester satu, sedangkan pembimbingnya dari semester tiga. Latihan ala Mahasiswa hanya beberapa jam saja. Jam 08.00 dimulai dan sekitar jam 09.00 selesai, Bertempat di depan gedung Rusunawa (Rumah sewa mahasiswa).

Setelah latihan, beberapa pengumuman dan support dierikan kepada mahasiswa semester satu. Tak  lupa pula ada minuman untuk pelega dahaga setelah latihan. Semua diadakan semeriah dan sesenang mungkin dengan hasil semaksimal mungkin.

Keterbiasaan mendorong teman-teman mahasiswa mudah mengikuti instruksi dan kekompakan mereka membuat barisan terlihat rapi hingga acara apel tahunan Pondok Modern Darussalam Gontor.

Wisuda Sarjana S-1 ISID Gontor ke- 20

Pada hari Kamis tanggal 21 Oktober 2010, dilaksanakanlah acara wisuda sarjana S1 ISID (Institut Studi Islam Darussalam) angkatan ke 20. Acara ini bertempt di Gedung BPPM (Balai Pertemuan Pondok Modern) Gontor Ponorogo.

Acara ini dimulai pada jam 07.00 pagi hingga siang hari. Para wisudawan dari Kampus ISID wilayah Siman dan mantingan diangkut menggunakan Bus. Tiba di Gontor, para wisudawan menyempatkan diri untuk berfoto bersama rekan-rekan sebelum acara dimulai. Mahasiswa ISID Siman paling ramai. Mengapa begitu? Ya karena mereka tidak dibebani untuk mengajar, sehingga fokusnya pada kegiatan kemahasiswaan. Hal ini menyebabkan ikatan mahasiswa ISID wilayah Siman erat.



Adapun jumlah wisudawan dan wisudawati berjumlah 178. Dari Fakultas Tarbiyah berjumlah 71 orang dengan perincian: Jurusan PAI (Pendidikan Agama Islam) berjumlah 41 orang dan PBA (Pendidikan Bahasa Arab) berjumlah 30 orang. Dari Fakultas Ushuluddin berjumlah 45 dengan rincian: Jurusan PA (Perbandingan Agama) sebanyak 28 orang dan AFI (Aqidah Filsafat Islam) sebanyak 17 orang. Dari Fakultas Syari’ah sebanyak 62 orang dengan rincian: Jurusan PMH (Perbandingan Madzhab) sebanyak 21 orang dan Mu’amalat berjumlah 41 orang.

Berikut tabelnya:

FakultasJurusanWisuda
Fakultas TarbiyahPAI41
PBA30
Fakultas UshuluddinPA28
AFI17
Fakultas Syari'ahPMH21
Mu'amalat41
Jumlah Wisudawan/i178

Manusia Sebagai Makhluk Sosial

Manusia Makhluk Sosial dan Pendidik

Sejak zaman dahulu kala, manusia selalu menginginkan kemajuan dalam kehidupan. Kemajuan itu dapat diraih dengan menerapkan pendidikan bagi para masyarakatnya. Oleh karena itu, pendidikan selalu menjadi perhatian utama dalam memajukan suatu komunitas dan masyarakat.

Menurut pandangan Islam, sejarah masyarakat dimulai sejak Adam dan hawa diturunkan ke bumi. Mereka menjadi keluarga terkecil pertamakali yang menghuni bumi. Dalam proses itulah proses pendidikan manusia dimulai.

Menurut M Arifin, dasar minimal dari usaha mempertahankan hidup manusia terletak pada orientasi manusi ke arah tiga hubungan,[1] yaitu:

  1. Hubungan manusia dengan Yang Maha Pencipta yaitu Allah Tuhan sekalian alam

  2. Hubungan dengan sesama manusia. Dalam keluarga Adam, hubungan tersebut masih terbatas pada hubungan antar anggota keluarga

  3. Hubungan dengan alam sekitar yang terdiri dari berbagai unsure kehidupan. Seperti tumbuhan, binatang dan sumberdaya alamiyah yang ada

Pendapat ini dapat diterima karena memang sampai sekarang, interaksi manusia relefan dengan ketiga arah hubungan di atas. Dalam literatur yang lain, ketiga konsep tersebut sering digambarkan dalam hubungan manusia secara vertical dan horizontal.

Hubungan vertical yaitu hubungan manusia dengan Tuhan yang menciptakannya. Hal ini dapat digambarkan dengan kelemahan manusia dan keinginan untuk mengabdi kepada yang lebih agung. Manusia yang lemah memerlukan pelindung dan tempat mengadu segala permasalahan. Terkadang memang permasalahan yang tidak pelik mudah dan dapat diselesaikan oleh manusia sendiri. Namun, tak jarang persoalan himpitan hidup, rasa putus asa, hilangnya harapan dan lain sebagainya tak mungkin diselesaikan sendiri. Maka ia butuh sesuatu yang sempurna, yaitu Tuhan. Tempat mengadu segala persoalan hidup. Tanpa-Nya, manusia bisa jadi kehilangan arah dan tujuan hidup.

Hubungan horizontal yaitu hubungan antar sesama manusia. Antara seorang dengan yang lainya. Unit terkecil dalam hubungan antar manusia adalah keluarga, kemudia masyarakat baru sesama penduduk negri serta mendunia. Hubungan sesame perlu dijaga karna manusia adalah makhluk social.

Dalam buku At-Tarbiyyah wa Ta’lim karya Mahmud Yunus, beliau menuliskan manusia adalah makhluk social. Maksud dari makhluk social adalah manusia tak dapat hidup sendiri tapi pastilah memerlukan bantuan orang lain.[2]

Melalui proses hubungan ini, manusia mengembangkan proses kehidupan dan membangun kebudayaan. Proses inilah yang mendorong manusia kea rah kemajuan hidup sejalan dengan tuntutan yang semakin meningkat.

Sebagai makhluk yang paling mulia, Allah memberikan kepada manusia berbagai kemampuan yang bersifat jasmaniyah dan rohaniyah. Dan jalan untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan tersebut adalah dengan pendidikan.


[1] M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996)

[2] Prof. Mahmud Yunus, At-Tarbiyyah wa Ta’lim, (Gontor: Darussalam Press, 2008)

Perbedaan antara kafir harbi dan dzimmi serta hukum keduanya

Perbedaan antara kafir harbi dan kafir dzimmi. Pada hakikatnya, manusia terbagi dua golongan yaitu orang kafir dan orang muslim. Pada zaman Rasulullah SAW, ada beberapa orang kafir yang memusuhi ummat Islam dan beberapa lagi tidak mengusik ketenangan ummat Islam.



Istilah kafir harbi dan dzimmi adalah refleksi atau hasil dari dua interaksi orang kepada ummat muslim pada zaman Rasulullah SAW.

Kafir harbi adalah setiap orang kafir yang tidak masuk dalam perjanjian (dzimmah) dengan kaum Muslim, baik ía seorang mu’ahid atau musta’min ataupun bukan mu’ahid dan bukan musta’min (An-Nabhani, 1994: 232). Mu’ahid adalah orang kafir yang menjadi warga negara kafir yang mempunyai perjanjian (mu’ahidah) dengan negara Khilafah. Musta’min adalah orang yang masuk ke dalam negara lain dengan izin masuk (al-amân), baik ía Muslim atau kafir harb (An-Nabhani, 1994:
234).

Kafir harbi, yang kadang disebut juga dengan ahl al-harb atau disingkat harb saja (Haykal, 1996:1411), dikategorikan lagi menjadi kafir harbi hukman (kafir harbi secara hukum/ de jure) dan kafir harbi haqiqatan/kafir harbi fi’lan (kafir harbi secara nyata/de facto). Kategorisasi ini didasarkan pada kewarganegaraan orang kafir dengan tempat berdomisili yang tetap. Jika Khilafah mengadakan perjanjian dengan suatu negara kafir, warga negaranya disebut kaum mu’ahidin (An-Nabbani, 1994: 232). Negara mi disebut ad- dawlah al -mu’ähidah (negara yang mempunyai perjanjian dengan negara Khilafah). Istilah lain kafir mu ‘ahid, sebagaimana disebut oleh al-Qayyim dalam kitabnya, Ahkam Ahl Adz-Dzimmah,adalah ahl al-hudnah atau ahl ash-shulh (Ibn al-Qayyim, 1983: 475), atau disebut juga kaum al-muwadi’in (Hayqal, 1996: 701). Orang yang tergolong, mu’âhid ini tergolong kafir harbi hukman. Sebab hanya berakhirnya perjanjian dengan negara Khilafah, ía akan kembali menjadi kafir harbi sebagaimana kafir harbi lainnya (kafir harbi fi’lan), yang negaranya tidak mengikat perjanjian dengan negara Khilafah.

Hubungan umat Islam dengan kafir harbi hukman didasarkan pada apa yang terkandung dalam teks-teks perjanjian yang ada. Hanya saja, dalam interaksi ekonomi, umat Islam (baca: Daulah Islamiyah) tidak boleh menjual senjata atau sarana-sarana militer kepada kafir harbi hukman—jika hal ini dapat memperkuat kemampuan militer mereka sedemikian sehingga akan mampu mengalahkan umat Islam. Jika tidak sampai pada tingkat tersebut, umat Islam boleh menjual senjata atau alat-alat tempur kepada mereka, khususnya ketika Daulah Islamiyah mampu memproduksi berbagai persenjataan militer dan menjualnya ke luar negeri sebagaimana yang diLakukan o(eh negaranegara adidaya saat ini). Jika dalam perjanjian ada pasal yang membolehkan penjualan senjata yang dapat memperkuat kemampuan militer kaum kafir harbi hukman sehingga mereka mampu mengalahkan umat Islam, pasal itu tidak boleh dilaksanakan. Sebabnya, pasal itu bertentangan dengan hukum syariat. Padahal, setiap syarat yang bertentangan dengan hukum syariat adalah batal dan tidak boleh dijalankan (An-Nabhani, 1990: 291-292; 1994: 232).
Adapun kafir harbi haqiqatan adalah warga negara dan negara yang tidak mempunyai perjanjian dengan Daulah Islamiyah. Negaranya disebut ad-dawlah al-kâfirah ál-hárbiyàh (negara kafir harbi yang memerangi umat Islam). Negara ini dibagi lagi menjadi dua. Pertama, jika negara tersebut sedang berperang secara nyata dengan umat Islam, ia disebut ad-dawlah al-kafirah al -harbiyah al-muhâribah bi al-fi’li (negara kafir harbi yang benar-benar sedang memerangi umat Islam secara nyata). Kedua, jika sebuah negara kafir tidak sedang terlibat perang secara nyata dengan umat Islam, Ia dikategorikan sebagai ad-daw!ah al-kâfirah alharbiyah ghayru al-muharibah bi al-fi’li (negara kafir harbi yang tidak sedang terlibat perang secara nyata dengan umat Islam) (AnNabbani, 1994: 233).

Perbedaan hukum di antara kedua negara ini adalah, jika sebuah negara kafir masuk kategori pertama, yakni sedang berperang secara nyata dengan dengan umat Islam, maka asas interaksinya adalah interaksi perang; tidak boleh ada perjanjian apa pun dengan negara kafir seperti ini, misalnya penjanjian politik (seperti hubungan diplomasi), perjanjian ekonomi (seperti ekspor-impor), dan sebagainya. Perjanjian hanya boleh ada setelah ada perdamaian (ash-shulh). Warga negaranya tidak diberi izin masuk ke dalam negara Khilafah, kecuali jika dia datang untuk mendengar kalamullah (mempelajari Islam), atau untuk menjadi dzimmi dalam naungan negara Khilafah. Jika warga negara dari negara kafir ini tetap masuk ke negara Khilafah, bukan untuk mendengar kalamullah, juga bukan untuk menjadi dzimmi, maka jiwa dan hartanya halal, yaitu dia boleh dibunuh, atau dijadikan tawanan, dan hartanya boleh diambil (AnNabhani, 1990: 293). Sebaliknya, jika termasuk kategori kedua, yaitu tidak sedang berperang dengan umat Islam, maka negara Khilafah boleh mengadakan perjanjian dengan negara kafir seperti ini; misalnya perjanjian dagang, perjanjian bertetangga baik, dan lain-lain. Warga negaranya diberi izin masuk ke negara Khilafah untuk berdagang, rekreasi, berobat, belajar, dan sebagainya. Jiwa dan hartanya tidak halal bagi umat Islam. Namun, jika warga negara tersebut masuk secara liar, yaltu tanpa izin negara Khilafah, maka hukumnya sama dengan warga negara yang sedang berperang dengan umat Islam, yakni jiwa dan hartanya halal (An-Nabhani, 1990: 293). Jika warga negara tersebut masuk dengan izin negara, dia tidak boleh tinggal di negara Khilafah kecuali dalam jangka waktu tertentu, yaitu di bawah satu tahun (An-Nabhani, 1994: 233).
Musta’min adalah orang yang masuk ke negara lain dengan izin masuk (al-aman), baik Muslim atau kafir harbi (An-Nabhani, 1990: 294; 1994: 234). Jika seorang Muslim masuk ke Darul Harb/Darul Kufur*, dia tidak boleh mengambil harta kaum kafir dalam Darul Harb tersebut, misalnya dengan mencuri (as-sariqah) atau merampas (al-ghashab). Sebab, seorang Muslim terikat dengan perjanjian yang Ia lakukan (al Muslim ‘indac syurutihim).

Sebagaimana seorang Muslim boleh masuk ke Darul Harb, seorang kafir harbi juga boteh masuk ke datam Daulah Islamiyah. Rasulullah saw. telah memberikan jaminan keamanan kepada kaum kafir pada saat Fath Makkah. Rasulullah saw. bersabda (yang artinya, “Siapa saja yang menutup pintu rumahnya, maka berarti dia aman.” (HR Muslim).

Namun demikian, jika musta’min itu seorang kafir harbi yang masuk ke negeri Islam, dia tidak boleh tinggal di sana selama satu tahun. Jadi, izin masuk (al-aman) hanya diberikan— misalnya—untuk satu bulan, dua bulan, atau lebih di bawah satu tahun. Hal ini karena seorang harbi dibolehkan tinggal di Darul Islam** tanpa ditarik jizyah. PadahaL, jizyah dipungut satu tahun sekali. Artinya, maksimal harbi boleh tinggal tanpa jizyah selama satu tahun. Jika dia tinggal lebih dari satu tahun, dia diberi pilihan: akan tinggal secara tetap dan membayar jizyah atau keluar dari Darul Islam. Jika dia membayar jizyah, berarti dia menjadi ahl adz-dzimah atau warga negara Khilafah. Jika dia keluar menjelang akhir tahun, dia tidak wajib membayar jizyah.

Hukum orang musta’min pada dasarnya sama dengan hukum ahl adz-dzimmah. Jika dia membutuhkan pertolongan, misalnya jiwanya terancam, negara wajib melindunginya sebagaimana negara melindungi ahl adz-dzimmah. Jika musta’min melakukan kejahatan, dia akan dikenai sanksi sebagaimana ahl adz-dzimmah, kecuali sanksi peminum khamr. Hal ini karena Darul Islam adalah tempat diterapkannya hukum-hukum syariat secara tanpa pandang bulu, baik terhadap orang islam, ahl al-dzimmah, maupun musta’min (An-Nabhani,1994:235)

Ahl adz-dzimmah kadang disebut juga kafir dzimmi atau sering disingkat dzimmi saja. Asal katanya adalah adz-dzimmah, yang berarti al- ‘ahd, bermakna perjanjian. Ahl adz-dzimmah adalah setiap orang yang beragama bukan Islam dan menjadi rakyat negara Khilafah (Daulah Islamiyah). Islam telah menjelaskan banyak hukum tentang ahl adz-dzimmah ini. Bahkan di antara ulama ada yang menulis kitab khusus mengenai hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan ahl adz-dzimmah. Misalnya Ibn Qayyim al-Jawziyah, yang menulis kitab Ahkam Ahl adz Dzimmah.

Di antara hukum-hukum tersebut adalah:

1. Ahl adz-dzimmah tidak boleh dipaksa meninggalkan agama mereka guna masuk Islam. Rasulullah saw. telah menulis surat untuk penduduk Yaman (yang artinya), “Siapa saja yang beragama Yahudi atau Nashara, dia tidak boleh dipaksa meninggalkannya, dan wajib atasnya jizyah. (HR Abu Ubaid). Hukum ini juga berlaku untuk kafir pada umumnya, yang nonYahudi dan non-Nashara. Dengan demikian, ahl adz-dzimmah dibebaskan menganut akidah mereka dan menjalankan ibadah menurut keyakinan mereka.

2. AhI adz-dzimmah wajib membayar jizyah kepada negara. Jizyah dipungut dan ahl dzimmah yang laki-laki, balig, dan mampu; tidak diambil dari anak-anak, perempuan, dan yang tidak mampu. Abu Ubaid meriwayatkan bahwa Umar r.a. pernah mengirim surat kepada para amir al-Ajnad bahwa jizyah tidak diwajibkan atas perempuan, anak-anak, dan orang yang belum balig. Syarat kemampuan diambil dari firman Allah Swt. dalam surat at-Taubah ayat 29 yang berbunyl ‘an yadin yang bermakna ‘an qudratin. Maksudnya, jizyah diambil berdasarkan kemampuan. Bahkan, bagi yang tidak mampu, misalnya karena sudah tua atau cacat, bukan saja tidak wajib jizyah, tetapi ada kewajiban negara (Baitul Mal) untuk membantu mereka. Pada saat pengambilan jizyah, negara wajib melakukannya secara baik, tidak boleh disertai kekerasan atau penyiksaan. Jizyah tidak boleh diambil dengan cara menjual alat-alat atau sarana penghidupan ahl dzimmah, misalnya alat-alat pertanian atau binatang ternak mereka.

3. Dibolehkan memakan sembelihan dan menikahi perempuan ahl adz-dzimmah jika mereka adalah orang-orang Ahlul Kitab, yaitu orang Nashara atau Yahudi. Allah Swt. Berfirman:

Makanan(sembelihan) orang-orang yang diberi al-Kitab halal bagimu dan makanan (sembelihanmu) kamu halal bagi mereka. Demikian pula perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan dari orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu. (QS Al-Maidah [5]:5)
Akan tetapi, jika ahl adz-dzimmah bukan Ahlul Kitab, seperti orang Majusi, maka sembelihan mereka haram bagi umat Islam. Perempuan mereka tidak boleh dinikahi oleh lelaki Muslim. Dalam surat RasuL saw. yang ditujukan kepada kaum Majusi di Hajar, beliau mengatakan, “Hanya saja sembelihan mereka tidak boleh dimakan; perempuan mereka juga tidak boleh dinikahi”


Sementara itu, jika Muslimah menikahi laki-laki kafir, maka hukumnya haram, baik laki-Laki itu Ahlul Kitab atau bukan. Allah Swt. berfirman:

Jika kamu telahmengetahui bahwa mereka adalah (benar-benar) wanita-wanita Mukmin, maka janganlah kamu mengembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Tidaklah mereka (wanita Mukmin) halal bagi mereka (lelaki kafir) dan mereka pun (lelaki kafir) tidak halal bagi mereka (wanita Mukmin). (QS al-Mumtahanah [60]: 10).

4. Boleh dilakukan muamalah antara umat Islam dan ahl adz dzimmah dalam berbagai bentuknya seperti jual-beli, sewa-menyewa (ijarah), syrkah, rahn (gadai), dan sebagainya. Rasulullah saw. Telah melakukan muamalah dengan kaum Yahudi di tanah Khaybar, di mana kaum Yahudi itu mendapatkan separuh dari hasil panen kurmanya. Hanya saja, ketika muamalah ini dilaksanakan, hanya hukum-hukum Islam semata yang wajib diterapkan; tidak boleh selain hukum-hukum Islam (an-Nabhani, 1994:237-240)

Demikianlah sekilas hukum-hukum ahl adz-dzimmah yang menjadi rakyat Daulah Islamiyah. Mereka mendapatkan hak sebagaimana rakyat lainnya yang Muslim. Mereka mendapatkan hak untuk dilindungi, dijamin penghidupannya, dan diperlakukan secara baik dalam segala bentuk muamalah. Kedudukan mereka sama di hadapan penguasa dan hakim. Tidak boleh ada diskriminasi apa pun yang membedakan mereka dengan rakyat yang Muslim. Negara Islam wajib berbuat adil kepada mereka sebagaimana berbuat adil kepada rakyatnya yang Muslim. Wallahu a ‘lam bi ash-shawâb.

Sumber Asli: http://wisnusudibjo.wordpress.com

Islam adalah Agama dan Sumber Peradaban Dunia

Agama Islam adalah agama yang syaamil dan kaamil. Artinya, sempurna dan menyeluruh sebagai rahmat bagi seluruh ummat manusia. Derajat kesempurnaan agama ini tidak dapat diruntuhkan oleh berbagai pendapat. Malahan, beberapa kalangan yang mencoba mengobok-obok Islam, terkena batunya sendiri.


Kesempurnaan Agama Islam bukan hanya terletak pada aspek ibadah dan kepercayaan. Lebih daripada itu, Islam memiliki syari’at bagi ummatnya yang menjadi pedoman kebahagiaan di dunia dan akhirat. Syari’at inilah pokok beradabnya suatu bangsa. Tanpa syari’at/ peraturan, manusia tidak lebih dari binatang yang saling memusuhi satu sama lainya, walau berakal.

Dalam syari’ah Islam, seorang disuruh untuk melakukan kebaikan dan menjauhkan diri dari kemungkaran. Mewajibkan kepada ummatnya untuk menjaga kebersihan, menepati janji, berkata jujur, tidak mengkhianati amanah dan masih banyak lagi perintah dalam syari’at Islam yang mengarahkan manusia untuk membentuk sebuah peradaban.

Maka, tak ayal sumber utama peradaban ummat Islam terletak pada dua pusaka yang ditinggalkan Nabi akhir zaman, Muhammad SAW. Kedua pusaka itu adalah Al-Qur’an dan As-sunnah. Membaca dan mengamalkan kedua pusaka tersebut, maka seseorang tidak akan tersesat baik di dunia maupun akhirat. Dalam kata lain, sudah mendapatkan jaminan kebahagiaan selamanya.

Namun begitu, terkadang manusia lengah bila ditempa ujian dari Allah, Tuhan Semesta alam. Hakikat ujian bukanlah bencana. Tapi itu adalah suatu anugerah dari-Nya, tanda bahwa Ia memperhatikan seorang hamba. Tiada sedikitpun kehidupan dalam diri seorang muslim, kecuali bermanfaat baginya. Dari pada itu, ada sebuah kata bijak untuk mengkiaskan keadaan seorang muslim. Sesungguhnya kehidupan seorang muslim itu sangat mulia, apabila ia mendapatkan kenikmatan ia berssyukur, maka itu baik baginya. Dan apabila ditimpa bencana, ia besabar, dan itu baik pula baginnya.

Sejarah Islamnya Bangsa Barbar

Siapa sih Bangsa Barbar itu?

Mereka adalah kelompok-kelompok pengelana yang menempati wilayah Afrika utara. Sebagian besar mendiami  gurun Sahara di wilayah Negara Aljazair , LIBIA, Republik Nigeria , Republik Mali , dan Burkinafaso;  mereka jg mendiami pegunungan di Riodeoro (wilayah di Sahara barat), Maroko, Aljazair dan Tunisia.

Kapan Bangsa Barbar Berkenalan Dengan Orang Islam?

Orang Barbar berkenalan dengan Islam setelah tentara Islam memasuki dan mengalahkan wilayah Afrika utara pada tahun 670 di bawah pimpinan ‘Uqbah bin Nafi. Pada tahun itu mereka mendirikan kota Qairawan sebagai markas operasi tentara Islam. Sejak saat itu Islam telah sampai di afrika utara yg penduduknya terdriri dari orang Barbar.

Mengapa Bangsa Barbar tertarik kepada Islam?

Disipilin dan ketinggian akhlak yg diperlihatkan pasukan penakluk (tentara Islam) selama masa penaklukkan Afrika Utara sampai ke wilayah barat (maghribi) telah menimbulkan rasa simpati di kalangan pendudkuk asli. Karena itu suku-suku besar dari orang barbar di sana tertarik uttuk memeluk agam Islam. Bahkan sebagian langsung menggabungkan diri dengan tentara Islam. Padahal sebelum kedatangan pasukan Islam orang-orang Barbar itu telah lama berada dibawah dominasi bangsa Roma dan kemudian dan keudian banga Visigoth, tetapi mereka tetap pada keyakinan animisme.

Pada masa selanjutnya mereka bahkan menjadi penopang kekuatan pasukan Islam dalam menaklukkan Spanyaol, Portugal, kemudian melintasi pegunungan Pirenia dan maju ke arah utara Prancis sampai ke kota Tours dan Pitiers.

Di Afrika barat daya, datang dan berkembangnya Islam dikalangan orang Barbar terjadi melalui kegiatan tasawuf. Pada abad ke 6H/12M dinasti Almuwahhidun di bawah mahdi ibnu tumart menggantikan dinasti sebelumnya, Almurabitun (almoravids), yang telah memimpin gerakan jihad Islamisasi pada abad ke 5H/11M. Dengan perantaraan pemimpin kerohanian Mahdi Ibnu Tumart, pergerekan Almuwahhidun berhubungan dengn pergerakan sufi. Semangat keagamaaan mereka yang kuat telah mendatanggkan pengaruh terhadap perkembangan Islam yg pertama kali di kalangan bangsa Barbar.

Empat abad kemudian, pemimpin sufi menggerakkan perlawanan terhadap tekanan Spanyol dan Portugis di Maroko. Namun orang Barbar yang tetap berpegang pada kepercayaan dan kebiasaan lamanya memberikan suatu sifat khas pada Islam, yaitu Maraboutism (pemuja wali-wali).

Dalam salah satu bagian kitabnya 'muqaddimah', ibn khaldun memuji-muji bangasa Barbar dan menyanjung-nyanjung watak dan sifat orang Barbar.

Sebagain orang Barbar menganut agama yahudi yg tersebar di wilayah Afrika utara seblum mereka menganut Islam. Orang Barbar pertama kali berkenalan degn islam dalam bidang kalam melalui ajaran ahlu sunah. Tetapi, karena kecenderungan mereka yg ingin bebas, mereka kemudian menjadi pengikut khawarij yang mereka kenal kemudian; dan sebgian lagi menganut syiah. Dalam bidang fiqih orng Barbar pada umumnya mnganut Mazhab Maliki hingga saat ini.

Sumber: ESIKLOPEDI ISLAM, PT ICHTIAR BARU VAN HOEVE, JAKARTA

Laporan Aktualisasi Latsar: Peningkatan Kemampuan Membaca Al-Qur'an Kelas V SDN 006 Penarikan

Laporan Aktualisasi: Peningkatan Kemampuan Membaca Al-Qur'an Kelas V SDN 006 Penarikan, Kecamatan Langgam, Kabupaten Pelalawan, Riau ...